Tante Rini menikmati secangkir coffemix panas Sambil Oral Sex Mini jeep yang saya kemudikan meluncur mulus ke pelataran parkir hotel P, satu hotel berbintang 5 yang terdapat di jalan Asia Afrika.
Jadi anak kost yang keseharian mesti prihatin, sesungguhnya apa masalahnya saya mesti datang ke hotel semewah ini?
Terlebih dulu ijinkanlah saya untuk mengenalkan diri terlebih dulu. Nama saya Ryo, 23 m Bdg (come on chatters, you should know this code). Saya kuliah di satu fakultas tehnik yang seringkali dikatakan sebagai fakultas ekonominya tehnik, karna banyak mata kuliah ekonomi yang bertebaran dalam kurikulumnya, di satu perguruan tinggi yang cukup terkenal di kota ini. Namun syukurlah sebagian masa lalu saya sudah lulus serta diwisuda jadi seseorang Insinyur, but for now, I’m only an unemployment.
That’s why I come to this hotel. Tempo hari seorang yang mengakui bernama Ibu Ratna menelepon serta mengundangku hari ini untuk ikuti satu psikotest dari satu perusahaan tembakau multinasional yang cukup terkenal di Indonesia (serta sebagian masa lalu terserang somasi orang-orang karena acara promosi satu produknya yang agak “kelewat batas”). Sesudah memarkirkan mobil di underground, saya mengambil langkah menuju lobby hotel. Selintas saya lihat pengunjung hotel yang tengah nikmati breakfast (atau lebih persisnya brunch kali yah?) di coffee shop serta berkeliaran di sekitaran lobby. Yah…dibanding mereka yang berpenampilan enjoy sich, saya lumayan rapi. Ah cuek saja lah, yang perlu percaya diri.
“Maaf Mbak, jika ruangan rekruitmen di mana yah? ”, bertanya saya pada seseorang resepsionis yang bertugas di front office sembari mengatakan nama perusahaan itu..
“Oh.., naik saja lewat tangga itu serta belok ke kanan. ”, tuturnya sembari tunjukkan tangga yang disebut. Sesudah mengatakan terima kasih, saya juga bergegas menuju ruangan recruitment. Hmm… masih tetap sepi nih, maklum jadwalnya jam 10 pagi sedang saat saya melirik arloji saya baru tunjukkan jam 09. 22 WIB. Sesudah isi daftar ada serta ambil formulir data diri, saya menghempaskan diri di satu sofa empuk di pelataran ruang itu.
Saat tunjukkan jam 09. 50 WIB saat seseorang wanita mempersilakan beberapa peserta untuk masuk ke ruangan tes. Sesudah ambil tempat, saya lihat peserta yang lain. Hmm.. terdapat banyak muka yang saya kenal karna memanglah rekan sekuliah, but now they are my competitor. Dimuka ruang sudah berdiri 2 orang wanita yang lalu mengenalkan diri jadi mbak Rini serta mbak Tia. Saya mengatakan mbak karna saya sangka mereka tidaklah terlalu jauh tua di banding saya, meskipun mereka mengenalkan diri dengan sebutan “Ibu”. Keduanya cantik, meskipun dalam perspektif yang berlainan. Mbak Rini wajahnya tegas relatif judes, begitu percaya diri serta berkesan suka mendikte orang yang lain, sedang mbak Tia berkesan lembut, waspada serta komunikatif. Bila saya menilainya jadi wanita yang semestinya dipacari (mbak Rini) serta wanita yang semestinya dinikahi (mbak Tia). Hahaha…mungkin agak aneh penilaian saya ini. Sesudah acara basa-basi resmi, pas jam 10 tes diawali.
1 jam 45 menit yang diperlukan mbak Tia untuk memandu serta mengawasi jalannya psikotest ini, sedang mbak Rini tak tahu menghilang kemana. Pas jam 11. 45 WIB kita “diusir” ke luar ruang nikmati coffee break untuk 30 menit lalu diumumkan beberapa orang yang lulus psikotest serta hadapi interview. Dari 200-an pelamar, cuma 40 yang di panggil psikotest serta cuma 20 yang di panggil interview, untuk setelah itu terserah berapakah orang yang juga akan di terima.
Nyatanya nama saya terdaftar dalam daftar peserta yang lulus psikotest, so I have to stay longer to join an interview. Interview will be done in english, so I have to prepare myself. But it’s only my first experience, so what the hell…!! Saya berupaya cuek serta santai saja menghadapinya, sa’bodo teuing lah kata orang sini.
Sekitaran jam 14. 45 WIB nama saya dijelaskan untuk masuk ruang interview. Hhmm…ternyata yang nginterview (eh ini bhs mana yah?) saya yaitu mbak Tia. Sesudah mengenalkan diri, kita ikut serta dalam percakapan yang serius tetapi akrab. Berulang-kali dia membujuk saya untuk ingin gabung pada perusahaan ini pada divisi produksi di pabrik. Saya sich sesungguhnya lebih suka bekerja pada shop floor di pabrik dari pada mesti bekerja di kantor manajemen di belakang meja serta dimuka computer. Namun permasalahannya yaitu kalau pabrik yang berkaitan terdapat di satu kota di pesisir utara pulau Jawa, satu kota sebagai pintu gerbang Jawa Barat pada tetangganya di samping timur. Away from home means extra biaya for living, am I right? Tidak merasa kita bercakap makin akrab. Mbak Tia nyatanya betul-betul smart, komunikatif serta dapat membawa situasi bersahabat dalam satu pembicaraan. Tidak heran nyatanya dia yaitu alumni fakultas psikologi th. 1992 pada suatu perguruan tinggi di selatan Jakarta yang populer dengan jaket kuningnya.
“That’s all Ryo, thank you for joining this recruitment. We will kontak you in two weeks from now by mail or phone”, kata mbak Tia akhiri perbincangan. “The pleasure is mine. ”, jawab saya pendek sembari berbalik menuju pintu.
“Ryo, why do you look so confident today? The others don’t look like you. ”, mendadak mbak Tia bicara sekali lagi pada saya.
“I juicet try to be myself, no need to pretend being someone else. ”, jawab saya sembari bingung, sesungguhnya apa yang sudah saya kerjakan sihsampai dia menilainya saya sesuai sama itu?
“Cool, I like your model”, sambung mbak Tia lagi
“I like your model too. ”, jawab saya (pura-pura) cuek, “Tia, I like to talk with you, maybe some other day we can talk more. May I have your number? ”, sambung saya sekali lagi. Asli telah cuek banget, tidak ada malu-malunya sekali lagi. Baru sebagian waktu bercakap bareng dia, namun mengapa rasa-rasanya saya telah kenal lama yah? Mbak Tia hanya tersenyum serta memberi kartu namanya sembari memohon nomor telepon saya juga. Karna saya masih tetap pengangguran serta tidak miliki kartu nama, pada akhirnya dia cuma bisa mencatatnya di kertas note kepunyaannya saja. Serta saya pada akhirnya segera pulang.
Bandung, same day at 18. 04 WIB
Saya sekali lagi termenung di kamar kost dimuka computer menyesali kekalahan kesebelasan saya dalam game Championship Manager 4. Sialan…, menyerang habis-habisan kok jadi kalah yah, fikir saya sembari memandang statistik permainan. Tiba-tiba…. krrriiinngg. ., teleponku berbunyi mengagetkanku karna memanglah dipasang pada volume penuh. Di LCD terpampang nomor telepon asing (tujuannya belum juga berada di memori). Segera saya jawab, “Hallo…”.
“Hallo…ini Ryo ?”, terdengar sebuah suara wanita di seberang telepon.
“Iya, ini Ryo”, jawab saya. Sejenak saya terganggu koneksi telepon yang kresek-kresek, payah juga nih jaringan 0816 prabayar wilayahsini.
Ternyata itu telepon dari mbak Tia. Dia sih ngakunya cuman iseng aja nge-check nomor saya. Setelah ngobrol sebentar, saya nanya, “Mbak, banyak kerjaan nggak ?”.
“Kenapa nanya, mau ngajak jalan-jalan yah ?”, jawab mbak Tia disusul suara tertawanya yang ramah.
“Boleh.., siapa takutt..?”, balas saya sambil senyum iseng (untung dia nggak bisa lihat senyum saya).
“Nggak kok udah selesai semua, free as a bird.”, katanya lagi sambil mengutip sebuah judul lagu The Beatles (atau John Lennon ? ah sa’bodo teuing lah).
Akhirnya kita sepakat untuk jalan-jalan (but no business talks allowed, kata mbak Tia). Waktu menunjukkan pukul 19.15 WIB ketika sayamemarkirkan pantat saya di sofa di lobby hotel yang sama.
Ah…masak dalam sehari ke hotel ini sampai 2 kali, pikirku. Baru beberapa saat saya duduk, terlihat sosok mbak Tia berjalan ke arah resepsionis untuk menitipkan kuncinya dan melihat sekeliling lobby untuk mencariku. Saya cukup melambaikan tangan untuk memberitahukan posisi saya duduk untuk kemudian bangkit berdiri dan berlahan menghampirinya. Kemeja putih berbunga-bunga kecil berwarna ungu terlihat serasi dengan pilihan celana panjangnya yang juga berwarna ungu. Wah…aliran “matching”-isme nih, pikirku. “Hi mbak, look so nice”, kata saya sambil sedikit memuji penampilannya yang memang “out of mind” itu.
“Thanks, you too”, jawabnya lagi sambil tersenyum. Tapi kali ini kesan senyumnya jauh dari resmi, seperti senyum kepada seorang teman lama.
Kita langsung berangkat. Karena mbak Tia meminta untuk tidak “makan berat”, akhirnya saya membawanya ke LV kafe, sebuah resto dengan city view yang bagus banget di bilangan dago pakar. Kalo udah malem, kelihatan indahnya warna-warni lampu kota Bandung dari situ. Many times I’ve been there, but still never get bored.
Temaramnya cahaya lampu resto, jilatan lidah api dari lilin di meja dan kerlap-kerlipnya lampu kota Bandung di bawah sana tidak mampu menutupi kecantikan yang terpancar dari seorang Tia, wanita yang baru saya kenal dalam beberapa jam saja.
Kalo dilihat dari face-nya sih nggak cantik-cantik banget, tapi gayanya yang ramah, wawasannya yang luas dan obrolannya yang menguasai banyak hal, membuat penampilannya begitu chic dan smart. Daripada dengan cewek cakep dan seksi serta mampu mengeksploitasi penampilannya semaksimal mungkin, tapi kalo diajak ngomong nggak pernah nyambung dan otaknya isinya cuman kosmetik sama sale baju atau factory outlet doank sih jauh banget bagusan Tia kemana-mana. Pokoknya smart-lah, saya jadi teringat Ira Koesno, seorang presenter TV favorit saya, yang walaupun tidak terlalu cantik tapi mampu memikat karena gayanya yang smart itu.
Mbak Tia (dan pada kesempatan ini dia minta saya cukup memanggilnya dengan hanya menyebut namanya saja, tanpa embel-embel mbak di depannya) memesan lasagna, biar nggak terlalu kenyang katanya.
Ternyata city view Bandung masih kalah dengan view yang ada di depan saya sekarang. Asik banget melihat Tia menikmati sedikit demi sedikit makanannya. Ada suatu momen yang bagus banget saat tiba-tiba dia mendongak, mengibaskan rambut sebahunya dan menatap saya sambil berkata, ” Lho kok malah nggak makan ?”.
Hhhmmm…..asli sumpah bagus banget angle-nya. Saya pernah ikut kegiatan fotografi saat di bangku sekolah dulu, so mungkin inilah yang disebut dengan angle terbaik. Ada beberapa saat (mungkin sepersekian detik) dimana seseorang dapat terlihat sangat tampan atau sangat cantik dan saya baru menikmatinya beberapa detik yang lalu. “Heh..kok malah bengong ?”, Tia membuyarkan lamunan saya seketika.
“Ah nggak kok, cuman lagi inget-inget aja tadi taruh kunci kost dimana ?”, jawab saya sambil mencoba berbohong. Kalo dia sampai tahu saya mengagumi pemandangan tentang dia, wah bisa jadi nggak enak suasananya.
“Ooohhh….” , sahutnya pendek, entah tahu saya berbohong atau tidak. Terus terang saya selalu rada takut menghadapi alumni-alumni fakultas psikologi, takut-takut pikiran saya bisa dibaca mereka, hahahaha…. .
Lalu kita terlibat perbincangan yang hangat sambil menikmati makanan. Ada beberapa sisi baru yang saya kenal dari seorang Tia malam itu. Desember nanti usianya 26, termasuk muda untuk seorang angkatan 1992. Anak kedua dari 3 bersaudara, kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal di Jakarta, sedangkan adik laki-lakinya sedang kuliah di sebuah PTS yang ternama di bilangan Grogol, Jakarta dan terkenal saat-saat perjuangan reformasi mahasiswa medio 1998 lalu. Dia pernah hampir saja menikah pada awal tahun ini, namun sesuatu terjadi (Tia mengistilahkan dengan something happened in the way to heaven, mirip sama judul lagunya Led Zeppelin 20-an tahun yang lalu), kekasihnya ternyata menikahi wanita lain yang terlanjur dihamilinya. Tia menyebutkan itulah resikonya pacaran jarak jauh, ternyata seseorang mampu menggantikan tempatnya di hati kekasihnya yang bekerja di kota tersebut. Ah…manusia, cerita tentang kehidupan mereka memang sangat beragam.
“That’s why Ryo, ’till now I still can’t trust men”, Tia berkata dengan tatapan kosong ke arah kerlap- kerlip lampu kota Bandung. Dia bilang pria itu seperti kucing, udah disayang-sayang tetap aja nyolong, hahahaha…. lucu juga istilahnya. Saya cuman bisa membela kaum saya sebisanya. Biar bagaimana pun kayaknya nggak semua cowok itu kayak kucing deh, beberapa diantaranya malah lebih mirip serigala,hahahahaha.. …
Makin lama kita ngobrol, makin banyak sisi-sisi lain yang saya kenal dari seorang Tia. Bahkan sampai sekarang dia masih belum mengerti apa sebenarnya yang ada di otak kekasihnya dahulu saat meninggalkannya, padahal we had a perfect life, katanya. Saya kira anak psikologi tahu semua jawaban tentang problem pikiran dan perasaan manusia, ternyata nggak juga tuh. Dia bilang sih nggak semua dokter bisa nyembuhin sakitnya sendiri dan nggak semua pilot bisa terbang. Untuk yang terakhir ini dia bisa bikin saya ngakak banget.
“So Ryo, why are you still alone ’till now ?”, tiba-tiba Tia mengubah topik pembicaraan. Lho kok… malah ngomongin saya sekarang ?
“Ah nggak ada yang mau sama saya, hehehe…”, jawab saya sekenanya sambil becanda.
“Boong banget, mau tinggi-in mutu yah ?”, todong Tia.
“Hahaha ketahuan deh saya”, jawab saya lagi sambil cengar-cengir.
“Boleh Tia ngomong tentang penilaian Tia ke kamu ?”, katanya tiba-tiba.
“Sok, silakan, mangga….”.
Dan mulailah Tia mengutarakan penilaiannya tentang saya. Yang bikin saya kaget ternyata dia bisa tahu pikiran-pikiran saya yang cuman ada di hati, bahkan tidak ada di otak sekalipun. Dia bilang kalo dibalik penampilan saya yang selalu tertawa dan becanda melulu, pernah ada sesuatu yang sangat melukai saya di masa lalu, dan itu sangat mungkin berkaitan dengan wanita, mengingat hingga sekarang saya masih sendiri. Ah….saya jadi teringat masa lalu saya yang berhasil ditebak dengan jitu oleh Tia (katanya semudah membaca buku yang terbuka, sialan…..! !!). Dimana sekarang beradanya si “love of my life” itu, beberapa wanita memang sempat menggantikannya, tapi tidak ada yang benar-benar dapat “menggantikannya” , hehehe….kok jadi sentimentil gini, ini kan CCS. Hahahaha….
Untuk beberapa saat saya terdiam, nggak tahu sebenarnya apa yang saya pikirkan. Apakah pikiran saya lagi ada di masa lalu atau tengah mengagumi sesosok wanita yang duduk tepat dihadapanku. Akhirnya saya hanya melemparkan pandangan menatap gemerlapnya kota Bandung di bawah sana.
…..and baby I…, I’ve tried to forget youbut the light on your eyes still….shine…., you shine like an angelspirit that won’t let me go….
Lagu Angel yang dinyanyikan Jon Secada makin menghanyutkan saya dalam lamunan. Sampai akhirnya…, “Bagus yah Ryo, pemandangannya. ..”, tegur Tia membuyarkan pikiran kosongku.
“Yup, saya selalu suka city wiew seperti ini”, jawab saya sekenanya, biar nggak dikira ngelamun.
Malam semakin larut ketika kita memutuskan untuk kembali ke hotel. Kita makin dekat satu sama lain, saling curhat selama perjalanan di mobil. Becanda, ketawa-an bareng. Why do I feel that everything seems so right when we’re together? Ah mungkin saya aja yang terlalu terbawa suasana.
Waktu menunjukkan sekitar pukul 11 malam ketika kita kembali menginjakkan kaki di lobby hotel. “Ryo, mau nemenin ngobrol sebentar nggak ?”, tanya Tia tiba-tiba.
“Boleh aja, emang belum ngantuk?”, tanyaku balik.
“Nggak, lagipula kalau di tempat yang asing Tia jadi susah tidur.”, katanya memberi reasoning.
Akhirnya saya ikut melangkahkan kaki ke kamar Tia yang terletak di lantai 4. Sebuah kamar standar dengan 2 single bed, TV, kulkas dan peralatan standar layaknya sebuah kamar hotel berbintang. Good enough, daripada kamar kostku, hehehehe….
“Lha kamu sendiri di sini ?”, tanya saya begitu melihat tidak seorang pun di kamarnya.
“Sebenernya kamar ini untuk berdua, dengan Rini, itu lho yang tadi pagi ikut tes juga”, jelasnya, “Tapi dia langsung pulang Jakarta pake kereta terakhir tadi sore, katanya besok mau ada acara apa gitu di keluarganya” .
Kita memasak air dengan menggunakan ketel elektrik yang disediakan hotel untuk kemudian masing-masing menikmati secangkir coffemix panas. Kursi sengaja kita balikkan menghadap ke jendela, untuk memandang Jalan Tamblong yang telah temaram dan senyap. Sesekali terlihat mobil melintas dengan kecepatan di atas rata-rata, mungkin karena sudah malam. Begitupun suasana di kamar ini, hanya suara MTV Asia dari TV yang dihidupkan yang menemani perbincangan kita, menggantikan cahaya lampu yang memang kami padamkan. Entah mengapa, saya merasa begitu dekat dengan Tia, padahal baru beberapa jam kita berkenalan. Ah sekali lagi, mungkin saya terlalu terbawa suasana….
Namun kali ini ternyata Tia yang duduk di sebelah saya bukanlah seperti Tia yang saya kenal dalam jam-jam terdahulu. Dalam curhatnya,ia terlihat sangat rapuh. Entah memang nasib saya untuk selalu menjadi tempat curhat orang lain. Dari dulu semasa di bangku sekolah hingga kini setelah menamatkan pendidikan tinggi, saya selalu dijadikan tempat curhat orang-orang dalam lingkaran terdekat saya. Dan kini saya harus menghadapi Tia yang sesekali sesunggukkan, meremas-remas sapu tangannya dan menghapus air matanya yang mulai jatuh satu persatu. Love…, look what you have done to her, bastard…!!
Saya bangkit dari duduk dan berjalan perlahan menghampirinya. Saya hanya bisa termangu berdiri di sampingnya dan melihat ke luar untuk menunggunya menyelesaikan kisah-kisah yang menyesakkannya selama berbulan-bulan. Saya mencoba menenangkannya sebisa saya dengan menganalisis kehidupannya dari berbagai perspektif. Saya hanya bisa mengatakan bahwa ia masih beruntung karena ditunjukkan ketidaksetiaan kekasihnya pada saat mereka belum menikah, karena akan lebih sangat menyakitkan jika semua itu dihadapi justru ketika mereka telah menikah.
Setelah beberapa waktu kita membahasnya, Tia terlihat sudah agak tenang. “Thanks Ryo, kamu mau jadi tempat sampah Tia”, katanya sambil sedikit tersenyum.
“That what friends are for”, jawab saya singkat sambil menepuk-nepuk kepalanya seperti kepada seorang anak kecil, padahal dia 3 tahun lebih tua daripada saya, hehehe..pamali tau…!!
Saya duduk lesehan di karpet bersandarkan pada tepi ranjang sambil meluruskan kaki. Hhmmm..enak juga duduk posisi kayak gini. Tidak berapa lama kemudian Tia menyusul turun dari kursi dan bergabung duduk dengan posisi lesehan di sampingku. Kayaknya enak banget lihat gaya kamu, katanya sebelum dia menyusulku duduk di karpet. “Ryo, kamu itu aneh yah ?”, tiba-tiba suara Tia menyentakku.
“Aneh selanjutnya bagaimana maksud loe?”, tanya saya asal sambil menirukan sebuah dialog sinetron Si Doel beberapa waktu yang lalu. Hihihihi…. terdengar Tia cekikikan mendengarnya.
“Ya aneh aja, Tia baru kenal kamu hari ini, tapi rasanya Tia udah kenal sama kamu lama banget”, katanya lagi, “Sampai Tia mau curhat sama kamu, padahal Tia paling jarang curhat, apalagi sama orang yang baru kenal”.
“Sama, Aku juga gitu kok Ya, jangan-jangan kita pernah ketemu di kehidupan sebelumnya yah ?”, jawab saya sambil nyengir.
“Ada-ada aja kamu….”, katanya sambil tiba-tiba merebahkan kepalanya di bahu kananku. Jujur aja saya cukup terkejut menerima perlakuannya, but santai aja, lagipula apalah yang mungkin terjadi dari sebuah bahu untuk menyandarkan kepala sejenak ?
Bersambung . . . . . . .
Proudly powered by WordPress.
Tante Rini menikmati secangkir coffemix panas Sambil Oral Sex
4/
5
Oleh
Unknown