Kurasakan tanganku menyentuh cairan kental yang sudah membasahi Tante Binalku Dikampungku saya umum di panggil Billy. Maklum postur badan yang tinggi besar serta muka serupa londo buat orang kampung mengidentikanku dengan turunan londo.
Mulai sejak usia 15 th., saya dipandang orang kampungku jadi anak yang miliki keunggulan supranatural. Tidak heran mulai sejak usia segitu saya seringkali bergelut dengan hal yang sifatnya mistis, walau sesungguhnya saya sendiri tidak percaya saya dapat. Umpamanya saya seringkali disuruhi tolong pulihkan orang kampung yang sakit perut, sakit bisul, muntah-muntah, atau sakit enteng yang lain. Serta tak tahu mengapa setiap obat yang saya sarankan pada mereka kok kebetulan mengobati penyakitnya.
Saat ini usiaku 24 th., tengah kuliah di kota M serta tetaplah saja banyak yang yakin saya dapat dalam soal supranatural. Dikota M saya juga populer dapat mengobati banyak penyakit, jadi masalah sex yang dingin atau tidak kunjung bisa momongan dapat segera kontak saya di kota itu.
Satu siang setelah kuliah, saya kehadiran pasien wanita Susi namanya. Susi ini tahu alamatku diantar Retno, rekan sekampusku yang dahulu sempat kutolong saat sakit malaria kritis serta pulih. “Tolong saya Mas Billy, suami saya kok sukai jajan diluar serta tidak perhatian sekali lagi sama keluarga, ” kata wanita beranak satu itu padaku. Sesungguhnya saya bingung juga ingin katakan apa, tapi karna dia memelas demikian saya jadi tidak tega. Susi saya suruh masuk kamar praktekku, sedang Retno tunggulah diruang tamu tempat tinggal kontrakanku. “Begini Mbak Susi, untuk membantu orang saya mesti tahu ukuran baju, celana serta sepatu orang itu. Jadi berapakah ukuran Mbak, ” kataku sesudah kami duduk bertemu dihalangi meja kerjaku.
Susi yang bertubuh agak pendek tapi seksi itu jadi bingung dengan pertanyaanku. “Ehmm, anu Mas, berapakah ya ukurannya.. tapi baju M celana 28 serta sepatu 37 mungkin saja cocok Mas, ” jawabnya masih tetap bingung juga. “Oke-oke bila tidak tahu tentu agar tidak ukurkan ya, ” kataku sembari ambil penggaris ukur dari kain. Seperti penjahit baju yang terima pesanan saya mulai mengukur sisi badan Susi mulai bahu, dada, perut, pinggang, pinggul, plus kaki. “Nah saat ini telah ada ukuran tentunya, saya dapat bantu problem Mbak, ” kataku, yang terlihat buat Susi berbinar karna terasa juga akan tertolong.
Susi juga mulai bercerita tingkah laku Anto, suaminya. Mulai sejak menikah serta miliki anak, Anto masih tetap setia, tapi sebagian bln. ini Anto mulai sukai keluyuran serta sukai jajan pada wanita beda. “Saya jadi bingung Mas, jika saya geram dia jadi ancam ingin cerai. Saya takut bila dicerai Mas, bagaimana nasib anak saya, ” keluh wanita berkulit sawo masak itu. “Ya telah, itu problem remeh kok Mbak. Kelak Mbak saya kasih susuk pemikat sukma agar suaminya nempel selalu seperti perangko, ” ucapku sekenanya. Lalu saya menyuruh Susi melepaskan semua bajunya termasuk juga baju dalamnya serta cuma memakai sarung bermotif kembang yang sudah kusediakan untuk dia.
Walau pernah sangsi tapi Susi mengerjakannya juga. Sesaat saya mempersiapkan beragam peralatanku, mulai kembang serta air dalam baskom, dan jarum susuk yang memanglah telah lengkap ada di ruangan praktekku. “Nah saat ini Mbak berbaring di dipan itu ya, serta janganlah banyak bergerak. Pokoknya konsentrasi fikiran pada suami Mbak serta sebut selalu namanya, ” perintahku pada Susi. Seperti dicocok hidung Susi menurut saja serta selekasnya berbaring di dipan dengan mata terpejam.
Untuk sebentar saya memerhatikan badan Susi dari kursi praktekku. Wow, bisa juga badannya, bahenol walaupun agak mini. Saya mempersiapkan kembang dalam baskom diisi air serta mendekati Susi yang terbaring di dipan kayu. “Sabar ya Mbak, sebentar sekali lagi kita mulai penyembuhannya, ” kataku memberikan keyakinan Susi. Susi masih tetap terpejam saat kucipratkan air serta kembang yang kusiapkan barusan ke sekujur badannya. Berniat saya merapalkan mantra yang tidak terang dengan mulut komat-kamit persis dukun sungguhan.
Lantas setangkai kembang ditanganku kuusap-usapkan di muka Susi dengan irama usapan yang searah jarum jam. Kulihat reaksi diwajah Susi menahan geli saat kembang itu mulai kuusapkan dibagian leher serta selalu turun kepangkal dadanya yang terbungkus sarung. “Nah saat ini buka matanya Mbak, ” perintahku. “Sudah usai belum juga Mas Billy?, ” tanyanya tetaplah terbaring di dipan. “Oh ya belum juga toh. Bagaimana Mbak ini maunya cepat, ini kan sistem gunakan susuk Mbak tidak bisa cepat-cepat. Bila tidak pas dapat fatal mengakibatkan, ” ujarku sekenanya. “Terus saat ini terlebih Mas?, ” Susi semakin penasaran. “Maaf Mbak ya, saat ini Mbak turunkan sarung itu hanya perut agar saya dapat mendeteksi aliran darah Mbak. Agar susuknya pas pasangnya gitu loh, ” kataku. Susi pernah melotot heran bercampur jengah, namun dia nurut juga turunkan sarung yang membungkus badannya hingga keperut dengan muka malu-malu. Wah, bisa juga payudara wanita ini, bila diberi Bra kurang lebih ukuran 36B lah, lumayan masih tetap padat walaupun telah beranak satu. Susi kembali terpejam, serta saya kembali ambil kembang serta mencipratkan airnya ke arah buah dada serta perut Susi. Dengan kembang yang sama saya usap-usapkan di daerah dada serta perut Susi. Badan Susi mengelinjang kegelian saat usapanku mulai menyentuh puting susunya.
“Oke.. bisa buka matanya Mbak, ” kataku sesudah senang menyeka susu Susi dengan kembang. “Wah, Mas kok lama sekali sich akhirnya, ” memprotes Susi, tapi tetaplah terbaring diranjang. “Gimana ya terangkannya Mbak, soalnya aliran darah Mbak aneh sich. Ini saja masih tetap butuh deteksi sekali lagi agar ketahuan aliran darah aslinya. Tapi bila Mbak ingin stop ya terserah, saya tidak dapat bantu sekali lagi, bagaimana?, ” balasku dengan mimik serius. “Iya deh saya pasrah, tapi saat ini apa sekali lagi?, ” bertanya Susi sekali lagi. “Maaf sekali lagi ya Mbak, saat ini jalan hanya satu agar aliran darah Mbak terlihat, Mbak mesti tangalkan sarung itu. Telanjang bulat Mbak, ” pintaku dengan suara yang kubuat serius. Walau kaget serta akan memprotes, tapi Susi pada akhirnya nurut juga. Sarung yang dipakainya ditanggalkan serta dilewatkan luruh kelantai, serta ia kembali berbaring di dipan kayu dengan mata terpejam.
Saat ini saya yang jadi bingung serta blingsatan lihat sesosok wanita bugil tanpa ada baju di hadapanku. Badan Susi betul-betul menggairahkan, rasa-rasanya bodoh benar si Anto, suaminya itu, kok tidak bersukur miliki istri semolek Susi ini.
Saya kembali hampiri Susi dengan kembang serta air di baskom. Perlahan-lahan kembali kuusap-usapkan kembang itu dari muka, leher, dada, serta perut Susi. Usapan-usapan erotis dibagian atas badan Susi buat wanita itu menggelinjang menahan geli. Napas Susi juga mulai cepat memburu, umumnya dalam fase sesuai sama itu, seseorang wanita tengah dirundung gejolak yang menghadap birahi.
Usapanku mulai merambat turun ke arah paha, tapi belum juga menuju selangkangan Susi. “Nah ketemu Mbak, sabar ya. Telah ketemu nih tempat gunakan susuknya, ” kataku berikan keinginan. Kembang di tanganku kembali kuusapkan di daerah paha sisi dalam serta kadang-kadang naik menyentuh bibir vagina Susi. Pergerakan menyeka sesuai sama itu kulakukan berulang ulang di daerah yang sama, hingga pada akhirnya jarak ke-2 kaki Susi mulai merenggang. Bukanlah main gundukan kemaluan Susi, bulunya tidak sering serta bibir vaginanya terlihat masih tetap ranum. Saya sendiri kehilangan konsentrasi dikarenakan lihat panorama itu. Saat ini kembang ditanganku saya buang dalam baskom, serta usapan di badan Susi kugantikan dengan tangan kananku. Susi masih tetap terpejam serta napasnya makin tidak teratur saat sentuhan tanganku menjelar diatas badan bugilnya. “Uhh Mas, di mana sich tempat gunakan susuknya? Saya tidak kuat begini selalu, ” Susi ajukan pertanyaan dengan mata tetaplah terpejam. “Iya Mbak, tenang ya, ini telah ketemu, ” kataku sembari hentikan sentuhan tangan pas di selangkangannya. Tanganku mulai memainkan bibir vagina Susi dengan tempo yang teratur serta ritme naik turun. Susi terlihat telah dipengaruhi, nafsunya gesekan tanganku di bibir vaginanya disertai pergerakan pinggulnya searah pergerakan tanganku. “Ohh.. geli sekali Mas disitu, ” Susi mulai menceracau sendiri, napasnya makin tidak teratur.
Saya sendiri telah tidak dapat menahan nafsuku, perlahan-lahan saya buka ke-2 kakinya makin lebar hingga gundukan vaginanya tampak semakin terang. Cairan vagina Susi makin banjir serta badannya mengejang kecil waktu jemari tangan kananku menjepit-jepit klitorisnya. Muka Susi betul-betul enak diliat dalam kondisi sesuai sama itu, mata terpejam serta bibir sama-sama memaggut menahan geli serta nikmat gesekan jariku di vaginanya. “Oke Mbak sebentar sekali lagi ya, saat ini Mbak tahan ya saya juga akan gunakan susuknya, ” pintaku. Jari tengahku kumasukkan perlahan-lahan ke liang vagina Susi, lantas kutarik sekali lagi keluar dengan perlahan-lahan juga. Itu kulakukan berulang-kali serta terus-menerus. “Engghh.. isshhtt.. , ” Susi melenguh, pinggulnya makin liar bergoyang serta berputar-putar.
Susi telah dalam kendaliku dengan keseluruhan, tempat tanganku di vagina Susi saat ini kuganti dengan jilatan lidahku di daerah vital Susi itu. Kami telah keduanya sama diatas dipan itu, cuma bedanya saya masih tetap lengkap berbusana, sedang Susi bugil keseluruhan. Reslueting celanaku kubuka, mulai sejak barusan saya memanglah berniat tidak gunakan CD hingga penisku segera meloncat keluar demikian kancing serta reslueting celana kubuka. “Usshh Mas.., saya tidak taahann sekali lagi, ” kaki Susi menjepit kepalaku di selangkangannya, pinggulnya naik turun menekan-desak mulutku yang menjilati klitorisnya.
Saya bangkit ambil tempat pas di atas badannya, bibir Susi yang menceracau segera kusumpal dengan bibirku. Sekarang ini Susi terbelalak buka matanya, tapi belum juga pernah bereaksi apa-apa, penisku yang telah tegang serta pas di tepi bibir vagina Susi selekasnya saya benamkan keliang nikmat Susi yang telah licin basah. Bless..! “Nghh duhh Mass, ohh.., ” Susi mendesis waktu penisku menembus bibir vaginanya serta masuk ke liang enaknya. Susi tidak menampik hadirnya penisku di vaginanya. Saya berhasil menyetubuhi pasienku sekali lagi. “Tahan Mbak ya.. memanglah begini ketentuan akhirnya. Yang perlu rumah tangga Mbak selamat ya, ” ujarku sembari menggenjot pinggulku diatas badan Susi. Badan Susi yang cukup mungil bagiku yang jangkung buat saya dengan leluasa menggenjotnya dengan tempat konvensional. Penisku berulang-kali menghujam vagina Susi buat muka Susi makin tampak ayu menahan kesenangan dari penisku.
Sampai belasan menit berlalu dengan posisi itu, akhirnya kurasakan tubuh Susi mengejang sesaat dan terasa pula denyutan kontraksi otot vaginanya pada batang penisku yang masih tegang.“Ouhhss.. eehgghh,” Susi rupanya sudah sampai klimaks, tubuhnya semakin tegang dan pinggulnya mendesak naik seperti ingin terus merasakan sensasi orgasmenya. Beberapa detik kemudian, aku pun merasa aliran darahku mengumpul di bagian pangkal penisku, dan croot.. croot.., kumuntahkan spermaku di dalam vagina Susi sementara tubuh tegangku mendekap erat tubuh Susi yang sudah lunglai.“Sudah selesai Mbak Sus.., sekarang suamimu pasti tak akan jajan di luar lagi. Susuk pemikat sukma itu sudah kutanam di rahimmu Mbak,” kataku seraya meraihnya bangkit dari dipan kayu.
Setelah berpakaian kami kembali duduk di kursi dihalangi meja kerjaku.“Maaf ya Mbak kalau prosesnya agak seronok begitu,” aku melihat Susi agak kikuk setelah sadar bahwa kami baru saja melakukan hubungan seks yang hangat.“Ehm nggak apa Mas, yang penting rumah tangga saya utuh. Terima kasih Mas,” Susi lalu bangkit dan menyodorkan uang pecahan seratus ribu padaku.“Oke Mbak, mudah-mudahan khasiat susuknya manjur ya. Nanti kalau masih ada keluhan, Mbak boleh konsultasi lagi kesini,” kataku. Susi kemudian keluar kamar dan bersama Retno, mereka pulang, meninggalkanku sendiri.
Entah susukku itu manjur atau kebetulan, sejak saat itu Susi tak pernah lagi kembali. Hanya sempat sekali dia kembali dan minta dipasang susuk pelaris warung karena ia mau buka usaha warung makan. Nah untuk kali itu meski susuknya tak kupasang di vagina, tapi Susi sendiri yang minta supaya dipasang seperti susuk pertama, biar khasiatnya ampuh katanya.Malam itu aku baru saja happy-happy dengan Johan dan Aris, teman kampusku. Kami bertiga menghabiskan belasan botol bir pilsener untuk merayakan ultah Aris di rumah Aris. Aku pulang dengan pandangan yang agak goyang, tapi sampai juga dengan selamat di rumah kontrakanku tepat jam 10 malam.
Sehabis mandi dan makan mie rebus, aku menikmati tayangan sinetron humor di sebuah saluran televisi di ruang depan. Rumah kontrakanku memang kecil, tipe 21, hanya ada kamar tidur, ruang praktekku, dan secuil ruang depan atau ruang tamu. Sisanya ya.. dapur dan kamar mandilah. Waktu itu jam sudah beranjak ke angka 10 lewat 30 menit malam, tiba-tiba bel pintu berbunyi.“Permisi Mas Billy.., Mas.. permisi,” terdengar suara anak lelaki dibalik luar pintu. Aku langsung membukakan pintu dan melihat siapa yang datang.“Eh Maman, ada apa Man malam-malam begini?,” tanyaku pada Maman, anak kelas tiga SD yang termasuk tetanggaku.“Anu Mas.., Mbak Ais pingsan. Saya disuruh bapak minta tolong sama Mas Billy ngobatin Mbak Ais,” kata Maman sambil memegangi tanganku. Maman adalah anak Pak Budi, pegawai negeri yang rumahnya hanya berselat delapan rumah dari rumah kontrakanku. Sedangkan Ais yang disebut Maman, ialah Aisyah, kakak perempuan Maman yang sudah kelas dua SMU.“Oke-oke.., Maman pulang duluan ya, nanti Mas Billy susul,” pintaku padanya. Maman pulang, sementara aku menyiapkan peralatanku mulai minyak gosok, body lotion dan kembang, lalu akupun menuju rumah Pak Budi.
“Ini lho Dik Billy, Ais mendadak pingsan habis makan malam tadi. Saya jadi khawatir, mana bapaknya lagi dinas luar kota lagi,” Ibu Budi langsung menyampaikan ketakutannya waktu aku datang.“Lho kata Maman tadi bapak yang nyuruh saya datang, kok dinas luar gimana sih Bu?,” aku jadi sedikit bingung juga.“Iya tadi waktu Ais pingsan, saya telepon bapaknya dan dia yang suruh minta bantuan Dik Billy,” jelas Ibu Budi.“Oh gitu, sekarang Ais mana? Biar saya lihat keadaannya,”“Ada Dik di dalam kamarnya, ayo saya antar,” Ibu Budi bangkit dan mengantarku kekamar Ais. Istri Pak Budi masih terlihat seksi walau usianya sudah masuk 37 tahun, apalagi malam itu hanya pakai daster longdres yang tipis. Lekuk tubuh dan kulitnya yang putih membayang jelas, soalnya aku jalan tepat di belakangnya waktu menuju kamar Ais.
Kulihat Ais terbaring lemas di kamarnya, setelah kupegang dahinya kupastikan Ais hanya masuk angin. Ditemani Bu Budi aku menyelesaikan tugasku menyadarkan Ais dari pingsan, caranya sangat mudah bagiku, dengan minyak gosok kuurut beberapa urat dibelakang tengkuk Ais. Tak lama setelah itu, Ais sadar dan membuka matanya.“Wah pintar sekali ya Dik Billy ini,” pujian Bu Budi langsung mengalir begitu Ais bisa duduk ditepi ranjangnya.“Ah Ibu ini, saya hanya kebetulan punya kelebihan kok. Nah sekarang Ais minum air hangat yang banyak ya, biar punya tenaga,” kataku mengajurkan. Wajah Ais hampir sama cantiknya dengan Bu Budi, tapi bodynya masih belum terbentuk dengan dada yang tampak kecil.“Makasih ya Mas, jadi ngerepotin,” Ais melempar senyum manisnya padaku. Setelah itu aku bangkit dan duduk di ruang tamu, sedangkan Bu Budi ke dapur untuk membuatkan teh hangat untuk Ais.
“Gimana Dik Billy? Apa penyakit Ais nggak berbahaya toh,” Bu Budi bertanya dengan mimik serius menghampiriku dan duduk dikursi tepat dihadapanku, usai mengantar segelas teh ke kamar Ais. Pertanyaan yang lucu, tapi kupikir membawa cukup celah bagiku untuk melancarkan aksi usilku.“Sebenarnya ada yang mengkhawatirkan Bu..,” sengaja tak kuteruskan kalimatku supaya Bu Budi bingung dan panik.“Menghawatirkan bagaimana toh? Tolong dong disembuhkan sekalian biar nggak nakutin gitu lo,” benar dugaanku, Bu Budi langsung panik dan mengharap jawabanku. Aku langsung pasang wajah serius dan mendekatkan wajahku dengan cara sedikit menunduk di meja penghalang duduk kami berdua. Melihat itu Bu Budi juga segera merunduk mendekati wajahku untuk mendengar penjelasanku.“Begini Bu, pengamatan batin saya, Ais bukan hanya masuk angin biasa tapi ada orang iseng yang coba mengguna-gunai dia. Mungkin pacarnya, atau mungkin lelaki yang cintanya ditolak Ais, Bu,” kataku.“Ah masak sih Dik? Terus bagaimana dong,” Bu Budi semakin merunduk, sehingga aku bisa melihat bongkahan pangkal susunya yang masih kencang dibalik daster tipisnya.“Ibu tenang saja, saya pasti bantu. Tapi syaratnya agak berat Bu, saya harus meruwat beberapa bagian tubuh Ais secara langsung,” aku menjelaskan.“Meruwat gimana sih,” Bu Budi semakin bingung.“Maaf ya Bu, tapi saya harus mengeluarkan guna-guna dari bagian vital Ais, payudara dan vaginanya. Tapi saya juga nggak tega, nanti dia malu lagi,” wajahku seperti orang yang sedang berpikir.“Apa ngak ada cara lain Dik, selain itu. Ais pasti nggak mau loh,” jawab Bu Budi bermimik bingung.
Aku tak langsung menjawab pertanyaan Bu Budi. Jam kulihat sudah menunjuk angka 11.30 malam didinding ruang tamu.“Ada Bu cara lain, namanya transformasi. Saya bisa melakukan ruwat itu dengan media tubuh lain yang golongan darahnya sama dengan Ais. Dik Maman golongan darahnya apa Bu?” tanyaku memancing.“Wah.., sayang sekali Maman darahnya B. Tapi kalau saya bisa nggak Dik? Saya juga B sama kayak Ais,” pancinganku rupanya membawa hasil. Setelah itu, aku mengarahkan dan menjelaskan bagaimana proses ruwat yang nantinya akan kulakukan pada Bu Budi. Dengan kepala manggut-manggut, Bu Budi akhirnya paham dengan penjelasanku.“Sebenarnya risih juga sih, tapi gimana lagi ya demi Ais? Iya deh Dik, terserah Dik Billy yang penting Ais sembuh total,” katanya pasrah.
Waktu itu Ais dan Maman sudah tidur, dan Bu Budi bersamaku beranjak ke kamar tidurnya untuk melakukan ruwatan itu. Sampai di kamar itu, Bu Budi langsung berbaring di ranjang dan aku duduk di tepi ranjang sebelah kiri.“Sekarang Ibu konsentrasi dan tujukan pikiran ke Ais ya,”“Ehm.. iya Dik, saya coba,” Bu Budi yang terpejam ternyata semakin cantik, wajahnya mirip artis Nani Wijaya di masa muda dulu. Kutelusur pandanganku dari wajah hingga ujung kaki Bu Budi, bodynya pun masih sangat bagus mirip gadis 24 tahunan dengan buah dada yang lumayan dan kulit mulus betisnya yang putih. Aku mulai beraksi, tanganku mulai mengusap-usap kening, pipi, dan leher Bu Budi, itu kulakukan sekitar lima menit lamanya.
“Sekarang buka matanya Bu,” pintaku segera diikuti Bu Budi.“Maaf ya Bu, saya harus teruskan prosesnya. Mungkin Ibu agak rikuh, tapi saya sudah sering melakukan seperti ini kok, jadi Ibu nggak usah khawatir ya, soalnya memang begitu caranya,”“Duh gimana ya Dik..? tapi nggak usah cerita ke bapak ya kalau prosesnya seperti ini,” Bu Budi nampak bersemu rikuh, mungkin dirinya mulai berpikir sesaat lagi lelaki yang bukan suaminya ini akan melihat seluruh lekuk tubuh dan bagian vital yang selama ini hanya untuk Pak Budi.“Iya Bu, itu sudah kewajiban saya kok,” aku lalu meminta Bu Budi menanggalkan Bra dan Cd nya, sedangkan daster tipisnya sengaja kusisakan untuk menutup rikuhnya. Bu Budi kembali terpejam, dan perlahan aku membuka dua kancing daster bagian atasnya dan menurunkan daster itu sebatas perut, membiarkan buah dada Bu Budi yang syuur itu bebas keluar. Ternyata benar dugaanku tubuh Bu Budi memang sangat mulus dan terawat, putih dan tak bercacat dengan postur proporsional.“Maaf ya Bu,” aku langsung mengusap sekitar buah dada Bu Budi dengan usapan tangan searah jarum jam. Bu Budi tak bersuara, tapi keningnya sesekali berkerut ditengah usapan-usapan lembut tangan kananku didadanya.Usapan kunaikan menjadi remasan kecil dan mulai menyentuh puting susunya, kadang kucubit kecil puting susu itu membuat Bu Budi menggelinjang menahan geli, tapi tetap tak bersuara.
Setelah mengusapi buah dadanya, aku mulai mengusap bagian betis Bu Budi dan terus naik ke paha hingga daster bagian bawah tersingkap naik dan berkumpul ditengah perutnya. Kini, pemandangan dihadapanku benar-benar menggoda kejantananku. Bu Budi juga ternyata memiliki vagina yang indah dihiasi bulu tebal yang dicukur rapi 2 cm panjangnya.“Sekarang Ibu boleh buka mata,” kataku.“Terus apa lagi Dik,” tanya Bu Budi dengan raut memerah bertambah rikuh padaku.“Maaf Bu, sekarang tahap utamanya, saya harus menyedot guna-guna di tubuh Ais dengan media tubuh Ibu. Ibu bisa tahan kan? Paling prosesnya hanya makan waktu 15 menit. Tapi tahap ini Ibu ngak boleh tutup mata,” jawabku meyakinkannya.“Iya deh Dik.. tapi tolong cepetan ya, saya rikuh nih,” Bu Budi menjawab pasrah.
Dengan menatap wajah Bu Budi yang bersemu merah aku mulai mendaratkan bibirku diputing susu kanan Bu Budi, susu terdekat pada posisi dudukku disisi kiri ranjang. Putting yang ranum kemerahan itu kujilati perlahan lalu kuhisap-hisap beraturan.“Hsst uuhh.. Dik,” suara tertahan Bu Budi terdengar waktu hisapanku agak kuat diputing susunya. Putting susu kiri pun jadi sasaran hisap dan jilat selanjutnya, sementara kedua tanganku memeganggi susu seksi Bu Budi sambil terus menghisap dan menjilat bergantian susu itu.“Uhh.. gelii Dik..,” Bu Budi mengelinjang saat isapan dan jilatan dikedua susunya kupercepat ritmenya, tangannya meremasi sprei ranjang.“Tahan sebentar lagi ya Bu, hampir selesai dibagian ini. Kalau tidak tuntas nanti Ais nggak sembuh total,” kataku menghIburnya. Aku mengambil dua tangan Bu Budi dan meletakkannya agar mendekap bahu dan leherku, Bu Budi menurut, dan aktifitasku kulanjutkan lagi menjilat dan menghisap susunya.
Napas Bu Budi mulai tersengal dan remasan tangannya dibahuku semakin lama semakin kuat menahan geli yang sangat disusunya.“Mffhh oouhh..,” Bu Budi mulai menggeliat-geliat mengikuti irama jilatan di susunya. Kupandang wajahnya, ternyata sorot matanya mulai redup khas wanita yang dilanda birahi. Tak mau hilang kesempatan, tangan kananku segera merayap menjelajahi perut dan pahanya. Bu Budi semakin terpojok, tangan kananku kini sudah mulai mengusap usap paha bagian dalam Bu Budi, kakinya merenggang dengan posisi lutut kaki kanan dinaikan sehingga tanganku lebih leluasa menggerayangi paha bagian dalam itu. Sesekali jemariku menyentuh bibir vagina Bu Budi, dari situ aku tahu Bu Budi sudah dirasuki birahi yang sangat, kurasakan tanganku menyentuh cairan kental yang sudah membasahi vaginanya.
“Oke Bu, sudah selesai di bagian dada. Sekarang tahap utama kedua, saya harus menghisap dan mengeluarkan guna-guna di tubuh Ais lewat kemaluan Ibu. Ibu tahan ya,” Kulihat Bu Budi sudah pasrah benar, dengan pandangan sayu ia hanya bisa mengangguk. Aku pun segera beralih posisi dan jongkok tepat disela kedua kakinya yang sudah tertekuk naik. Vagina Bu Budi memang sudah basah, tapi dua bibirnya masih sangat ranum dan terlihat kencang. Setelah membersihkan vaginanya dengan ujung sprei yang berhasil kuraih, aku lalu mulai menjilati vaginanya.“Aauuhh.. iihh.. geelii Dik, saya nggak tahan,” Bu Budi pekik tertahan dan tangannya meremasi kepalaku di selangkangannya.“Tenang dulu Bu, saya harus cari posisi guna-gunanya. Agak geli Bu ya,” aktifitas sengaja kuhentikan dan mengajak Bu Budi bicara.“Ehhmm he-eh Dik, geli sekali, soalnya saya nggak pernah dijilatin gitu itunya,” Bu Budi bicara dengan suara serak dan napas tersengal, aku lanjutkan lagi aktifitasku. Aku yakin ini pengalaman baru buatnya karena Pak Budi tak pernah melakukan foreplay semacam ini setiap kali ngeseks dengan istrinya ini. Cairan asin yang keluar dari vagina Bu Budi semakin banyak, dan kini pinggulnya mulai bergerak mengikuti irama jilatanku. Sambil melakukan itu kuintip wajah Bu Budi yang sudah total birahi, kepalanya bergerak-gerak tak beraturan setiap kali jilatan dan isapan kusasarkan di klitoris vaginanya bersamaan rintihan yang semakin tak karuan dari bibirnya.
Penisku sudah berdiri tegak, apalagi melihat gerakan dan mendengar rintihan Bu Budi yang kian erotis. Sambil aktifitas kubuka celanaku sebatas paha sehingga penisku yang berukuran lumayan panjang dan besar meloncat kegirangan.“Bu.., guna-gunanya hampir keluar, tapi harus dicungkil dari dalam vagina dengan jari atau alat lain,” aku hentikan jilatanku, dengan segera menaikkan posisi tubuhku. Posisiku seolah menindih tubuhnya tetapi tubuh kami tak bersentuhan karena kutopang dengan dua tanganku.“Bagaimana Bu?,” sebelum Bu Budi bereaksi aku bertanya dengan wajah sudah demikian dekat dengan wajahnya.“Terserah Dik, lakukanlah.. mffphh,” diluar dugaanku, Bu Budi ternyata agresif menyambar bibirku dengan kuluman yang penuh nafsu. Topangan tanganku terlipat sehingga tubuh kami langsung saling tindih, dalam posisi itu kuusahakan celanaku lepas total dari kaki, dan berhasil. Kini penisku yang mengacung tepat berada dibelahan bibir vagina Bu Budi. Ciuman bibir kami masih berpagut sedangkan pinggul Bu Budi mulai mendesak-desak naik mencari batang kenikmatanku.
Sengaja keadaan itu kugantung, aku ingin ia menrengek dan meminta agar aku menyetubuhinya.“Mnffh.. uuhhm, ayo Dik cungkil guna-guna itu..,” Bu Budi melepas pagutan bibirnya dan merengek padaku.“Maaf Bu.., tapi apa Ibu nggak marah nih,” gurauku.“Ayoo Dik Billy, udah kepalang tanggung lagipula.. oughh.. asstt,” belum selesai bicara, Bu Budi langsung kuserang dengan ciuman di bibir, leher dan susu bergantian, sementara ujung penisku yang sudah terjepit sebagian di bibir vaginanya kutekan masuk sampai amblas. Bleess.. jleepp.. jleepp. Bu Budi menyambut penisku dengan goyangan pinggulnya yang erotis, baru kali ini kurasa vagina wanita yang berkontraksi sebelum ia orgasme, orang bilang empot-empot.“Ouuhh Dik.. aahh, eenaak Dik aeehh..,” Bu Budi menceracau dan tangannya mengoyak-koyak baju yang masih kukenakan. Ritme pompa penisku kutingkatkan cepat dan teratur dengan dua tangan menopang tubuh bagian atasku. Bu Budi semakin hilang kendali, kepalanya bergerak kanan-kiri, gyang pinggulnya semakin liar seirama rintihannya yang makin kacau pula.
15 belas menit berlalu, dan kurasa Bu Budi sudah hampir tiba pada puncaknya.“Aaahh Dik, saya mau keluar Dik..,” Bu Budi bergerak semakin cepat dibawah kendali penisku. Sebelum dia mencapai orgasmenya, penisku secepat mungkin kutarik keluar sekaligus menjauhkan diriku dari tubuhnya.“Ouhhgghh.. ohh, kenapa berhenti Dik? Ayo dong teruskan, saya hampir sampai,” Bu Budi merengek dengan wajah yang masih penuh birahi.“Maaf Bu, tapi sudah selesai ruwatnya. Guna guna di tubuh Ais sudah keluar melalui ruwat tadi, kan kita melakukannya untuk mengobati Ais,” kataku padanya.
Bu Budi tersentak sadar, mungkin dia kecewa juga telah hanyut dalam birahi tadi. Tapi tak lama kemudian meluncur cerita dari bibirnya yang tipis, katanya Pak Budi tak pernah memberikan kepuasan seksual yang maksimal, meskipun hubungan seks mereka lakukan dua hari sekali.“Bu.. apa Ibu mau kita lanjutkan lagi?,” aku mengusap lembut dahi Bu Budi.“Kalau Dik Billy nggak sudi, ya sudah nggak apa kok,” Bu Budi menampakkan raut kecewa.“Bukan begitu Bu. Saya mau lanjutkan asal kita berdua telanjang bulat, dan tolong Ibu bayangkan bahwa saya adalah Pak Budi, supaya nggak rikuh Bu,” kataku seraya melepas luruh dasternya yang terkumpul di bagian perut, aku pun menanggalkan bajuku.
Kami kembali saling pagut, dan saling tindih. Penisku langung kuhujamkan ke vaginanya dan kami kembali larut dalam permainan seks tengah malam. Sampai akhirnya,“Ahh oohh.. ngghh ahh,” Bu Budi mengerang kuat mengigit bahuku saat serangan orgasme tiba pada vaginanya. Kontraksi vaginanya terasa jelas menjepit-jepit penisku yang masih aktif. Genjotan kunaikkan lebih kuat dan cepat, membuat Bu Budi benar benar tuntas orgasme. Tak lama berselang, aku pun tiba pada puncak nikmatku.“Ihh.. ohh sayang..,” tubuhku tegang dan penisku terhentak hentak berkali kali dalam vagina Bu Budi sambil menyemburkan sperma. Aku lunglai dan mengambil tempat disisi kiri Bu Budi, kami kelelahan tanpa sadar saling berpelukan dan akhirnya lelap tertidur.
Waktu terjaga jam sudah menunjuk angka 07.30 Wita, suara di luar kamar Bu Budi terdengar menandakan Maman dan Ais sudah bangun. Aku dan Bu Budi segera merapikan diri dan mengenakan pakaian kami, lalu keluar menuju ruang depan.“Sudah baikkan rasanya Dik Ais?,” aku langsung bertanya pada Ais yang memandang heran ke arah kami di ruang depan. Gawat pikirku, pasti Ais mengetahui apa yang terjadi dan akan melaporkannya pada Pak Budi nantinya.
“Ohh, ini lo sayang, Mas Billy ngobatin kamu dengan ruwat khusus, jadi harus nginap di sini untuk begadang semalam suntuk. Ibu menemani ngobrol,” Bu Budi seakan tahu sorot curiga di mata Ais.“Ehmm, maaf ya Mas Billy, Ais jadi ngerepotin,” untunglah Ais bisa dikelabui, kalau tidak berabe juga dong. Setelah basa-basi sebentar, aku lalu pulang ke rumah kontrakanku dan siapkan diri ke kampus lagi pagi itu. Entah kapan aku bisa menyetubuhi wanita semacam Bu Budi lagi.Aku masih di kota M dan masih kuliah. Pagi ini aku kedatangan pasangan suami istri, Toto dan Juminah, mereka datang dari kampung yang letaknya sekitar 25 Km dari rumah kontrakanku. Katanya sih mereka tahu aku bisa ngobatin penyakit secara supranatural dari tetangga mereka, Pardi. Aku sendiri lupa apa pernah ya aku ketemu orang namanya Pardi atau tidak. Singkatnya, pasangan Toto yang sopir truk antar pulau dan Juminah yang pembantu rumah tangga itu datang padaku dengan keluhan pingin cepat dapat anak.
“Benar lo Mas, berapapun biayanya saya usahakan asal kami bisa punya momongan. Wong kami ini sudah tujuh tahun kawin lo Mas,” Toto memohon mohon padaku diruang tamu, sementara Juminah hanya ikut manggut-manggut setiap suaminya bicara.
Toto adalah pria bertubuh ceking dan usianya sekitar 40 tahunan, sedangkan Juminah walau agak kampungan dan lusuh tapi terlihat jauh lebih muda dengan usia sekitar 29 tahunan. Body Juminah yang agak gemuk terlihat serasi dengan tinggi tubuh yang lebih tinggi 5 cm dari Toto.
“Emangnya seminggu berapa kali kalian melakukan hubungan badan,” setelah puas menilai penampilan dua tamuku itu, aku pun mulai meluncurkan pertanyaan dengan mimik serius.
“Eh.. Anu Mas. Kadang-kadang dua kali seminggu, atau malah kadang dua minggu sekali, soalnya saya ‘kan sopir truk antar kota Mas. Kadang saya nginap diluar kota, jadi nggak sempat gituan,” Toto menjawab malu-malu, Juminah malah tertunduk habis.
“Oh.. Begitu toh. Pantas kalian susah dapat momongan, wong jarang kumpul dan kerja berat terus sih,” aku berujar sambil menenggak kopi pagiku.
“Oke sekarang kalian tenang saja, biar aku bantu masalah kalian. Nah sekarang kalian masuk ke kamar itu dan tunggu aku ya,” pintaku pada tamuku sambil menunjuk kamar praktikku.
Beberapa menit setelah mereka masuk, aku langsung nyusul, di kamar itu aku duduk di kursiku sementara mereka di kursi tepat depanku yang dihalangi meja kerjaku.
“Begini Mas Toto, ini kan untuk kebaikan kalian berdua jadi kumohon jangan rikuh dan risih dengan ruwatan pengobatan yang akan kulakukan ya, bagaimana? bisa apa nggak?,” tanyaku.“Oh.. Monggo saja Mas, kami memang siap apa saja untuk dapat anak kok,” Toto menjawab.“He-eh Mas kami siap kok,” Juminah menimpali.“Kalau begitu sekarang kalian buka baju dan ganti pakai sarung ini ya, terus tiduran di dipan itu,” kuberi dua lembar sarung bermotif bunga dan menunjuk dipan di kamar praktikku. Pasangan dari kampung itu nurut saja dan sekejap kemudian sudah berbaring berdampingan di dipan, hanya pakai sarung tok.
Aku berdiri mendekati pasangan yang sudah pasrah itu, mereka kuperciki air kembang sambil merapal mantra seadanya dibibir.
“Sekarang tolong kalian bersetubuh ya, iya bersetubuh, main, ngeseks..,” perintahku disambut keheranan keduanya.
Tapi mereka tak punya pilihan, toh mereka butuh bantuanku. Toto langsung saja membuka sarungnya dan mempreteli sarung Juminah hingga keduanya bugil tulen. Bibir Toto yang agak monyong langsung nyosor menciumi sekujur tubuh Juminah, sedangkan tangannya mulai gerilya di bagian vagina istrinya itu.
Wah, pemanasan seks pasangan ini rupanya kurang ahli, pantas saja sudah dapat anak. Lima menit kemudian Toto main tancap saja, padahal penisnya yang imut belum tegak benar sehingga kelihatan agak susah menembus vagina Juminah yang masih kering belum terpacu birahi.
“Duuhh belum Mas, susah sekali masuknya,” Juminah menggerutu tapi tetap aku dengar.
Toto tak peduli dan terus menggenjot pantatnya, menggesek gesek penisnya yang masih layu ke permukaan vagina Juminah dengan napas memburu, nafsu benget.
“Ohh yess.. Ahh,” Toto sudah tamat sebelum penisnya belum masuk utuh ke vagina Juminah, ia langsung KO dan menggelepar disisi istrinya.
“Wah.. Wah.., Mas Toto ini gimana sih. Bagaimana mau punya anak kalau sperma sampeyan nggak nyiram rahim Mbak Jum. Payah sampeyan ini Mas,” kataku memberi komentar.
Toto dan Juminah kembali duduk dihadapanku dihalangi meja, lalu kujelaskan bagaimana proses pembuahan yang dibutuhkan rahim wanita sebelum akhirnya hamil dan melahirkan.
“Mas Toto kulihat burungnya kurang kuat ya, kok baru gesek-gesek sudah KO. Tuh Mbak Jum belum rasain apa-apa. Iya kan Mbak?,” Juminah tertunduk malu mendengar pertanyaanku, Toto malah garuk-garuk kepala, mereka masih pakai sarung tok.
“Terus gimana caranya Mas supaya aku dapat momongan toh,” Toto bertanya.
“Caranya ya perbaiki mutu seks kalian itu, terutama Mas Toto, burungnya harus kuat sehingga nyembur pejuhnya di dalam vaginanya Mbak Jum, gitu loh. Selain itu nanti kuberi ramuan,” kataku menjelaskan.
“Anu Mas, punya Mas Toto memang nggak bisa lebih dari itu kok, padahal sudah minum banyak jamu, tapi begitu terus,” Juminah menyelaku.“Ya mau bagaimana lagi wong memang begitu,” Toto protes.“Oke-oke, supaya Mas Toto lebih sip, gimana kalau aku contohkan cara main yang tepat, biar pas dan cepat dapat anak,” aku menawarkan. Mereka saling pandang kemudian memandangku lagi.“Terserah bagaimana baiknya Mas,” Toto dan Juminah menjawab hampir serentak.“Oke sekarang Mas Toto duduk disini dan Mbak Jum silahkan tiduran lagi di dipan,” perintahku.
Toto duduk dikursi tadi, Juminah sudah berbaring berbalut sarung sebatas dada, aku mendekati dan mencipratkan air kembang ke sekujur tubuhnya.
“Begini Mas Toto, perhatikan cara menaikan birahi istri pada langkah pertama,” kataku seraya menurunkan kain sarung Juminah sampai ke perut. Aku duduk disamping Juminah yang tiduran, lalu kuraba-raba dua gundukan di dada Juminah, meski sudah tujuh tahun kawin, rupanya susu 36B Juminah masih kencang kayak perawan.
“Ihhss geli Mas.. Aku malu ah..,” Juminah menepis tanganku, tapi kemudian membiarkan lagi tangan itu beraksi.
“Mas jangan cemburu ya ini untuk kebaikan sampeyan juga kan,” kulanjutkan aktifitasku dan Toto hanya manggut-manggut memberi restu. Kini bibirku mulai aktif menjilati susu Juminah bergantian kanan dan kiri. Hisapan dan jilatan terus kulakukan sampai lima menit lamanya.
“Hsshh aauuhh.. Emmffhh maasshh.. Aahkk,” Juminah mendesis dan menggeliat-geliat karena hisapanku di susunya, tangannya malah sudah mendekap kepalaku seperti enggan kalau kulepas hisapan itu.
“Gimana Mbak Jum? enak?,”
“Ehmm iiyah Mas,” Juminah menatapku sayu, wajahnya cukup manis kalau begitu, rasanya mirip artis Denada Tambunan, body gemuknya pun mirip waktu Denada belum diet (Sorry ya kalau Dena ikut baca, abis emang mirip sih).
“Nah Mas Toto sekarang lihat nih tahap kedua merangsang birahi istri,” aku mengambil posisi jongkok tepat diantara dua paha Juminah yang ngangkang. Vagina Juminah sepintas kelihatan jorok, apalagi bulunya hitam, panjang, sembrawutan lagi. Kuusap pelan bagian sensitif Juminah dari bawah ke atas dan terus begitu beberapa kali.
“Auuhh mashh geliih ahhss,” pinggul Juminah naik turun mengikuti tanganku yang mengusap vaginanya.
Saat cairan kental mulai membasahi bagian itu, aku langsung merunduk dan menciumi bibir vagina Juminah, aroma vagina cewek kampung memang asyik dan alami. Kugunakan lidahku menjilati bibir dan klitoris vagina Juminah, membuat Juminah kalang-kabut dan menggelinjang tak karuan. Kuintip mulut Juminah sedikit terbuka dan merintih-rintih, rambutku dijambak-jambak Juminah. Sementara Toto serius melihat bagaimana istrinya sedang kubuat birahi tinggi. Gerakan tubuh Juminah yang agak gemuk membuat dipan bergerenyit, kreyat-kreyot, tapi makin asyik. Aku sendiri mulai merasa birahi, penisku mulai tegang dan mendesak CD yang kupakai. Hampir 10 menit kujilati vagina Juminah, sampai kurasakan dua pahanya keras menjepit kepalaku dan jambakan pada rambutku makin kencang.
“Aahhss aahhdduhh.. Iihhss.. Mmmff..,” Juminah sampai pada orgasmenya, gerak pinggulnya menghentak-hentak kepalaku yang dijepit pahanya, lalu jepitan itu lunglai, Juminah lemas.
“Gimana Mbak Jum, ringan rasanya?” aku bertanya sambil melepaskan pakaianku sampai bugil juga.
“Iyaah mass agak ringan, enak sekali rasanya,” Juminah masih menatapku dengan birahinya.
“Nah Mas Toto, sekarang lihat tahap terakhir ya. Bagaimana caranya masukkan penis ke vagina supaya cepat hamil,” aku berkata pada Toto yang tetap serius memperhatikan.
Juminah terbaring pasrah dengan dua paha mengangkang lebar, vaginanya yang kuyup jelas terlihat karena bulu lebatnya lusuh oleh cairan vaginanya. Penisku yang sudah maksimal berdiri kusisipkan di bibir vaginanya dan tubuhku mulai menindihnya, susu Juminah kembali jadi sasaran jilat dan hisapku.
“Sabar ya Mbak Jum, pasti tak buat kamu ketagihan,” bisikku di telinga Juminah.
“Uhh mass, teruskan apa maumu mass..,” Juminah tak sabar menunggu penisku menembus vaginanya. Bless.. Jleepp, penis kudorong masuk menembus vagina Juminah yang masih terasa rapat dan nikmat, Juminah merintih tertahan merasakan benda yang masuk tak seperti yang selama ini dirasakan dari Toto.
“Eh Mas Toto, kok bengong. Nah ini Mas caranya yang betul, tuh lihat burungku masuk utuh ke vaginanya Mbak Jum,” aku memberi tahu Toto, dia manggut-manggut saja dan melongo melihat istrinya kelepar-keleper kubuat.
“Ahhyoo mass.. Aku ngghhaakk kuaatt, ohh..,” pinggul Juminah terus naik mendesak penisku supaya bergerak di vaginanya. Kupeluk tubuh gemuk Juminah, kugenjot penisku, kepala Juminah bergerak tak beraturan, rintih dan desahnya makin menjadi-jadi.
“Enak Mbak Jum.. Hehh, enaak ndaak mBHaak,”“Iyahh oosshh.. Eenhhaak, teruusshh mashh aauhh,”“Mmmffhh ehmnnff,” bibir Juminah yang agak tebal tapi seksi kulumat habis, aku jadi nafsu banget dengan bau keringat ketiak Juminah yang khas kampung itu. Kugenjot makin kuat dan makin teratur, Juminah pontang-panting mengimbangi gerakanku dengan menggoyang pinggulnya.
Permainan kami cukup panjang tapi Juminah belum kelihatan menyerah, posisi segera kuubah, kubalik tubuh kami sehingga Juminah yang jadi menindih tubuhku.
“Mas Toto, kalau lagi main, burung sampean nggak bisa masuk, gini cara yang tepat supaya imbang,” kataku, Toto masih saja manggut-manggut, terpesona melihat bagaimana istrinya yang kini menggenjot aku.
“Duuhh.. Iisstthh, kokhh tambah ennahkk begini.. Masshh.. Auhh,” Juminah kini bagai joki diatas penisku, tubuhnya yang gemuk dan lemak pahanya membuat kenikmatan yang asyik di penisku, aku menarik tubuhnya sampai dia merunduk dan menyasar lagi susu ranumnya dengan isapan lidahku.
“Ayoo Mbaak Jum, ambill nikmatnya Mbak..,”
“Ahh.. Enghh.. Mmmffhh, ohh iyakhh mashh.. Akuu enaakkhh.. Mahhss.. Ahhss,” goyang pinggul Juminah makin menekan penisku, makin lama gerakannya makin kuat. Wajah Juminah semakin ayu dalam keadaan seperti itu, mata sedikit terpejam, bibir terbuka mendesis, kepalanya gerak kanan kiri diatas tubuhku.
Kurasa vaginanya makin membasah, ini saat yang tepat meghajarnya hingga puncak pikirku. Sekejap aku ubah posisi kami lagi, dengan berputar kekiri kini tubuhku kembali diatas tubuh Juminah, tanpa memberi kesempatan padanya, aku terus menggenjot penisku menghujam-hujam vaginanya.
“Aaahh.. Akuu piipisshh mashh.. Ouhh.. Emhhff.. Ohhss..,” tubuh Juminah kejang, dinding vaginanya berkontraksi berkali-kali dalam genjotan penisku, sampai akhirnya kepala Juminah lunglai, menandakan orgasmenya sudah utuh dan tuntas. Toto terpana melihat raut puas istrinya, sementara aku masih teratur menggenjot tubuh Juminah.
“Ahh Mas To.. Ini puncak namanya aauhhkkhh..,” kurasa cairan spermaku tak mungkin kubendung lagi, kutarik penisku dari liang nikmat Juminah, dan sekejap semburan spermaku tumpah membasahi perut Juminah.
“Uhh.., itu namanya pejuh Mas, dan itu harus ditumpahkan didalam vagina Mbak Jum, supaya hamil. Kalau Mas To tumpahnya diluar terus kapan hamilnya Mbak Jum,” aku bangkit menyuruh Toto melihat sperma kentalku diperut Juminah.
“Lohh kok nggak ditumpahin didalam saja Mas, biar dia hamil,” Toto benar-benar blo’on.“Wah Mas ini gimana. Kalau spermaku masuk ke vagina Mbak Jum dan Mbak Jum hamil, berarti itu anak ya anakku jadinya, bukan anak sampeyan, gimana sih,” cerocosku sambil kembali mengenakan pakaian, mereka juga kembali pakai pakaian masing-masing.
Setelah itu, kami basa-basi sejenak, dan kubuatkan ramuan kuat untuk Toto supaya greng kalau tempur sama Juminah. Mereka kemudian pulang dan menyisipkan uang pecahan ribuan yang jumlahnya sampai lima puluh lembar.
Oh ya, sejak itu, kira-kira sebulan kemudian pasangan itu datang lagi dan minta diajari lagi begituan. Aku kembali senang bisa bersetubuh dengan Juminah yang sintal dan montok, dan Toto senang bisa belajar memuaskan istrinya. Kabar terakhir yang kudengar, tiga bulan kemudian Juminah hamil. Entah itu anak siapa, soalnya waktu datang kedua kali aku tumpahkan spermaku dalam vagina Juminah, habis nggak tahan sama rintihannya itu. Tapi aku tetap berharap anak itu anak Toto, hasil sperma Toto. Sejak dikabari aku kalau Juminah hamil, mereka tak lagi datang padaku, karena kusarankan supaya mereka kontrol ke puskesmas saja untuk kehamilan Juminah
Kurasakan tanganku menyentuh cairan kental yang sudah membasahi Tante Binalku
4/
5
Oleh
Unknown