Selasa, 18 Juli 2017

Pemerkosaan Yang Kuinginkan Lagi sebatang penis raksasa

Pemerkosaan Yang Kuinginkan Lagi sebatang penis raksasa - Waktu itu saya baru berumur 18 th., sedang ciciku Jessica berumur 20 th.. Malam itu, pacarku yang bernama Jeff berkunjung ke tempat tinggal kami, untuk sekedar memberikanku hadiah Valentine. Kami telah berpacaran sepanjang 5 th., namun jangankan lakukan jalinan intim, berciuman saja begitu tabu untuk budaya bangsa kami. Tetapi untuk rayakan hari Valentine ke-5 kami, saya merencanakan untuk memberi Jeff hadiah khusus. Kuajak dia ke kamarku agar tidak tampak oleh Ayah serta Ibu. Kuizinkan dia membelai punggungku dengan lembut, sesaat mukanya makin mendekat ke mukaku. Sangkaku, hari itu juga akan jadi pertama kalinya Jeff mengecup bibirku. “Braakkk! ” mendadak peristiwa yang indah itu terganggu oleh nada ribut dari luar kamarku. Belum juga pernah kami mencari tahu apa yang berlangsung, mendadak tiga orang tentara negeri Utara mendobrak pintu kamarku. Dengan begitu sigap mereka mencengkeram ke-2 tanganku, lantas menyeret saya ke ruangan tamu. Jeff yang berupaya melindungiku tidak dapat berbuat apa-apa sesudah terima pukulan keras pada tengkuknya. Di ruangan tamu, empat orang tentara yang lain tengah mengikat Ayah & Ibu di sofa, sesaat dua diantara mereka tengah meraba-raba badan Jessica dimuka Ayah & Ibu. Lalu badanku didorong ke tengah ruangan tamu, sesaat mereka mengikat Jeff yang 1/2 sadar di samping Ayah & Ibu. Mereka bertiga lalu dipaksa untuk melihat ke-2 anak gadis (serta kekasih) mereka yang tengah digerayangi oleh beberapa tentara. Malam itu kami cuma memakai tank top serta hot pants, hingga kulit kami yang putih mulus juga kelihatannya menaikkan nafsu beberapa tentara. 



“Wih simak boss, yang ini susunya kenyal banget! ” tutur salah seseorang tentara sembari meremas payudara Jessica. 
“Tapi jika muka sich, adeknya lebih imut! Tetenya juga tidak kalah lah, ” sahut rekannya yang tengah menanggalkan kaosku dengan kasar. 
“Jangannn.. tolonggg janganlah sentuh kami! ” pekik Jessica. 


Mereka menelanjangi kami sampai tidak tersisa sehelai benang juga, diterima dengan permintaan dari Ayah & Ibu untuk hentikan tindakan itu, yang sudah pasti tidak digubris. Tentu benar-benar memilukan untuk Ayah & Ibu untuk lihat anak-anak perempuan yang mereka besarkan diperlakukan dengan tidak manusiawi dimuka mata mereka sendiri. Saya & Jessica lalu digiring untuk masuk kedalam truk besar yang sudah berisikan belasan gadis yang telanjang bulat, umumnya sembari menangis ketakutan. 


Truk itu membawa kami ke kamp tawanan di Negeri Utara. Sesampainya disana, kami diminta berbaris telanjang bulat seperti tengah upacara. Sang komandan lantas datang serta jalan diantara barisan-barisan itu, sembari menatapi gadis-gadis telanjang itu satu per satu. Mereka yang parasnya tidak demikian memuaskan sang komandan lalu dipisahkan ke grup beda. 


“Jess, janganlah pergi, temanin saya disini! ” seruku waktu sang komandan menarik lengan Jessica untuk memisahkannya ke grup beda. Jessica berupaya untuk memberontak, tetapi sudah pasti ia tidak mampu melawan sang komandan, terlebih tempat itu dipenuhi oleh beberapa tentara bersenjata yang siap menghabisi nyawanya setiap saat. 


“Cici janji juga akan baik-baik saja. Kamu juga janji ya, Catherine. Kita tentu ketemu sekali lagi, ” tutur Jessica seraya digiring sang komandan untuk meninggalkan tempatku. Kami cuma bisa meneteskan air mata, karna kami ketahui kami akan tidak baik-baik saja, bahkan juga belum juga pasti kami dapat bersua kembali. 


Di kamp tempat saya ditempatkan, beberapa penjaga menyebutkan kalau nasib kami tambah baik dari pada nasib gadis-gadis yang dipisahkan terlebih dulu, termasuk juga ciciku. Sang komandan melarang beberapa penjaga kamp untuk memerawani kami, karna bisa turunkan harga jualnya. Kami jadi dirawat agar tetaplah cantik serta menarik waktu di jual pada yang berminat. Di situ, kami di ajarkan teori untuk memuaskan keinginan sex beberapa lelaki, supaya nantinya mereka bisa mengasyikkan majikan. Kami juga di ajarkan untuk kerjakan beragam pekerjaan rumah tangga. Yang paling penting, dalam fikiran kami ditanamkan kalau kami yaitu budak yang tak akan mempunyai hak, serta kami mesti menuruti tekad beberapa majikan kami, yang memiliki hak untuk lakukan apa sajakah pada kami. 


Kursus itu menelan saat sepanjang sebulan. Kemudian, satu per satu gadis di kamp dipaksa untuk berpose telanjang, lalu difoto. Foto-foto kami lalu di tawarkan pada beberapa calon konsumen, yang sebagian besar yaitu bangsawan serta petinggi di negeri Utara. Kurun waktu dalam waktu relatif cepat, beberapa gadis itu juga laris terjual dengan harga yang cukup tinggi. Bahkan juga sebagian gadis yang disukai oleh lebih dari satu orang, sangat terpaksa mesti dilelang untuk memperoleh harga teratas. Begitu halnya diriku, saya pada akhirnya di jual jadi budak pada seseorang bangsawan dengan harga yang begitu mahal, sesudah sistem lelang yang cukup sengit, karna (kata mereka) kecantikanku memikat banyak penawar. 


Sebelumnya diantarkan ke yang memiliki baruku, badanku dibikin bersih serta di beri minyak wangi. Rambutku yang panjang sepunggung dirapikan. Rambut di ketiak serta kemaluanku dicukur sampai bersih, hingga saat ini vaginaku (menurut komentar mereka) tampak seperti garis tidak tebal diatas gundukan daging yang putih mulus. Kemudian, ke-2 tanganku diposisikan di belakang punggung, lantas badanku diikat dengan tali yang melewati ruang di sekitar payudara, punggung, dan selangkangan. Cuma kakiku yg tidak diikat agar saya masih tetap bisa jalan. 


Sebelumnya meninggalkan kamp tawanan, sang komandan memerlihatkan satu amplop kepadaku, lantas satu diantara penjaga membukakan amplop itu serta tunjukkan berisi kepadku. Alangkah terkejutnya diriku waktu lihat kertas yang dipegang oleh penjaga itu, yang nyatanya berisi yaitu photo ciciku, Jessica. Di photo itu tampak Jessica dalam tempat mengangkang diatas lantai semen, dengan sebatang sapu yang menancap di vaginanya. Bahkan juga sepintas terlihat daerah kemaluannya itu sobek dari vagina hingga ke anusnya. Selangkangannya bersimbah darah dengan jumlah yang begitu banyak. Sekujur badannya dipenuhi dengan luka memar karena dipukuli dengan benda tumpul, terlebih di payudara serta pahanya. Puting susunya tampak sobek serta di sekelilingnya ada luka seperti sisa sundutan rokok. Ke-2 matanya terpejam, mungkin saja ia telah tidak sadarkan diri, atau mungkin saja telah meregang nyawanya. Saya cuma bisa menangis sejadi-jadinya waktu ketahui nasib ciciku yang malang. Sang komandan lantas keluarkan secarik kertas lusuh dari amplop itu, lantas memerlihatkannya kepadaku. 


Dear Catherine, Mungkin saja saat kamu baca surat ini, cici telah tidak ada sekali lagi. Sehari-hari mereka memperlakukan cici seperti budak sex, cici juga tidak tau sampai berapakah lama sekali lagi cici dapat bertahan. Namun cici ingin kamu janji untuk selalu bertahan. Untuk orangtua kita, Cath. Cici mengharapkan agar nasib kamu tidak seburuk cici. Satu sekali lagi, cici ingin kamu tau jika cici sayang banget sama kamu. Thanks buat semuanya yang telah kamu lakukan buat cici sepanjang kita masih tetap dengan. With love, 


Surat itu membuat tangisanku makin keras. Menginginkan rasa-rasanya saya menghajar mereka semuanya, tetapi apa yang bisa saya perbuat dalam kondisi begini? Tetap dalam kondisi berlinang air mata, si penjaga itu menarik tali yang mengikat badanku, lantas menyeretku keluar menuju satu mobil box. Mobil itu membawaku ke tempat tinggal sang konsumen, yakni seseorang entrepreneur yang cukup dilihat di negeri Utara. Sesampainya disana, saya di turunkan dari mobil itu serta digiring menuju pintu tempat tinggal.


“Selamat siang. Oh, kamu yang namanya Catherine?” tanya sang tuan rumah.
“Iya Om, eh maaf, iya Tuan,” jawabku, sesuai dengan yang diajarkan selama di kamp.


Setelah menuntaskan proses penerimaan dan sebagainya, Tuan menggiringku masuk ke rumahnya yang cukup besar, lalu memperkenalkanku kepada istri dan anaknya.


“Bunda, perkenalkan, budak ini namanya Catherine. Mulai hari ini Catherine akan ngerjain semua pekerjaan rumah. Kamu berhak nyuruh dia ngapain saja. Dan kalau dia tidak patuh, kamu berhak ngehukum dia. Catherine, panggil dia Nyonya.”
“Selamat siang, Nyonya,” sahutku, sambil berlutut di lantai.


Tuan lalu memanggil anak lelakinya yang berusia 19 tahun. Ia nampaknya terperanjat melihat sosok gadis cantik yang telanjang dan terikat di depannya, sedang berlutut di hadapan kedua orangtuanya.


“Nak, ini budak baru Ayah. Tenang aja, kamu boleh ambil dia sebagai istri kamu. Tapi bukan berarti kamu tidak boleh menikah lagi. Ingat, dia hanya budak, tentu tidak jadi masalah. Catherine, panggil anak saya Tuan Muda.”


Aku agak kaget mendengar perkataan itu. Aku merasa benar-benar terhina saat dianggap sebagai seonggok daging yang tidak punya hak dan masa depan. Namun di sisi lain, sejujurnya aku mengagumi sosok Tuan Muda yang cukup tampan. Tuan Muda tersenyum saat melihat tatapan mataku yang memancarkan kepasrahan.


“Catherine, karena mulai sekarang kamu jadi milik kita, saya akan kasih tanda kepemilikan,” kata Tuan.


Beliau lalu mengambil sebuah kotak yang berisi anting yang berbentuk lingkaran seperti cincin, lalu berlutut di depanku. Aku tahu apa yang akan terjadi, sehingga aku berusaha berdiri untuk menghindar, namun Nyonya memegangi bahuku sehingga usahaku untuk berdiri pun gagal. Tuan lalu mengambil anting dari kotak itu, lalu mendekatkan ujungnya yang tajam ke puting susuku.


“Satu… dua… tiga!” Tuan memberikan aba-aba sementara aku memejamkan mata erat-erat, berusaha untuk menahan rasa sakit ketika ujung anting yang tajam itu menembus puting susuku. Beberapa tetes darah mengalir dari puting susuku yang sebelah kanan, dan akupun mengetahui bahwa putingku yang sebelah kiri akan mengalami penderitaan serupa. Dengan cara yang sama, Tuan menindik puting susuku yang sebelah kiri, lalu menarik-narik kedua anting itu sehingga aku meringis kesakitan.


“Belum selesai, Cath. Masih ada satu lagi,” ujar Tuan. Ia lalu membungkuk hingga kini mukanya berada di depan kemaluanku yang terlihat seperti “garis tipis di atas bukit kecil yang putih mulus”. Kemudian ia menggunakan jarinya untuk membuka vaginaku sehingga bagian dalamnya yang berwarna merah muda terlihat. Dengan jarinya, Tuan menjepit klitorisku, sehingga aku mengejang karena rasa geli, baru kali itu daerah sensitifku disentuh oleh orang lain.


“Jangan, tolong jangan di situ, Tuan,” pintaku, saat menyadari bahwa daging kecil yang sensitif itu akan ditindik juga.


Tuan tidak memperdulikan permohonanku, lalu menancapkan sebuah anting hingga menembus klitorisku. Aku yang sedari tadi menahan jeritannya pun tidak sanggup lagi, sehingga aku menjerit keras-keras akibat rasa sakit pada kemaluanku.


“Selesai. Sekarang kamu resmi jadi milik kita. Bunda, aku serahkan dia buat kamu. Kamu ajarin tugas-tugasnya di rumah ini,” kata Tuan, sambil membuka tali-tali yang mengikat tubuhku


Hari itu, aku diajarkan untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, membersihkan perabot, dan macam-macam tugas lainnya yang biasa dilakukan oleh pembantu rumah tangga. Sungguh miris rasanya, karena semasa aku tinggal bersama keluargaku, kami memiliki pembantu rumah tangga yang mengerjakan semuanya itu. Kini aku berada di posisi sebagai pembantu, namun tanpa bayaran, bahkan tidak dianggap sebagai manusia. Satu hal yang membuat aku bertanya-tanya, mengapa Nyonya tidak risih saat suaminya membawa seorang gadis telanjang bulat ke rumahnya? Atau paling tidak menyuruh diriku untuk menggunakan pakaian untuk menutupi ketelanjanganku? Sekian bejatnya kah moral di negeri itu, sehingga seorang wanita pun tidak risih saat melihat seorang gadis telanjang berkeliaran di rumahnya?


Malam harinya, Tuan mengajakku untuk turun ke ruang bawah tanah di rumah itu. Aku kaget bukan main saat melihat isi ruangan itu. Ruangan yang dinding dan lantainya hanya dilapisi semen itu diterangi oleh sebuah lampu kecil di tengah ruangan. Di temboknya, terdapat rak yang berisi borgol, cambuk, tali, dan alat-alat lainnya yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Di sudut ruangan itu terdapat sebuah ranjang yang terbuat dari besi.


“Selamat datang di kamar barumu, Catherine,” kata Tuan. Ia lalu menggandengku menuju ranjang, lalu menyuruhku duduk sembari menunggu Tuan Muda turun ke ruangan itu.
“Nak, Ayah beri kamu kesempatan untuk menikmati budak ini terlebih dahulu. Supaya nanti dia mengandung anak kamu. Cucu Ayah..”


Orang tua macam apa ini, gumamku dalam hati. Orang tua mana yang menyuruh anaknya yang masih muda untuk menyetubuhi gadis yang baru dikenalnya hari itu. Namun aku bersyukur karena aku tidak harus melayani nafsu pria tua di hadapanku ini, melainkan seorang lelaki yang masih muda dan cukup tampan. Tuan Muda lalu melepaskan seluruh pakaiannya dan naik ke atas ranjang, sementara ayahnya mengeluarkan sebatang rokok, lalu duduk di kursi sambil menonton adegan itu. Tuan Muda memainkan jari tangan kanannya di sekitar kemaluanku, sementara tangan kirinya meremas payudaraku yang (katanya) tidak terlalu besar, namun padat dan sekal.


“Sssshh.. pelan-pelan ya Tuan,” pintaku yang dirundung oleh perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Tuan Muda menggunakan tiga jarinya untuk mengocok liang vaginaku dengan cepat. Sementara itu bibirnya mulai melumat puting susuku, bahkan sampai digigit dan ditarik dengan giginya. Tanpa aku sadari, penis yang berukuran tidak terlalu besar itu mulai menembus masuk ke dalam vaginaku.


“Akhhhh…” dalam cerita dewasa ini aku merintih pelan saat merasakan keperawananku ditembus oleh penis Tuan Muda, sehingga kedua tanganku mencengkeram seprei dengan kuat. Namun rasa sakit itu segera tergantikan dengan rasa nikmat yang luar biasa. Ditambah dengan penampilan Tuan Muda yang bertubuh atletis dan kulitnya agak putih untuk ukuran orang negeri Utara, tanpa sadar aku mulai merancau dalam kenikmatan, sehingga aku lupa bahwa aku sedang diperkosa. Namun karena rasa malu dan gengsi, aku berusaha untuk menyembunyikan rasa nikmat itu dan membungkam mulutku. Genjotan penis sang Tuan Muda makin lama makin cepat, membuat anting di puting susuku bergoyang-goyang dengan cepat. Tuan Muda lalu melumat bibirku yang mungil, sambil membisikkan ke telingaku,


“Enak gak, sayang?”
“Uuukhh, i-iya, enak Tuan, eh, ja-jangan Tuan, akhh..” jawabku yang kesulitan untuk memutuskan perasaanku sendiri.
“Pssstt.. panggil gue Axel aja. Tapi jangan ketahuan bokap.”


Setelah beberapa menit, Axel mencengkeram kedua payudaraku dengan keras, lalu penisnya menyemburkan sperma ke dalam rahimku. Ketika Axel mencabut penisnya, darah keperawanan bercampur dengan sperma mengalir keluar dari liang vaginaku yang kecil. Aku merasa lega karena perkosaan itu ternyata tidak semenyakitkan yang aku bayangkan sebelumnya, ditambah pemerkosanya yang cukup ganteng dan lembut. Namun kelegaanku sirna ketika Axel turun dari ranjang itu, lalu posisinya digantikan oleh ayahnya. Aku merinding saat melihat sosok Tuan yang sudah telanjang. Perutnya yang buncit dan berbulu membuatku jijik, apalagi penisnya yang jauh lebih besar dibandingkan milik Axel. Perawakan Tuan tidak membuatku bernafsu sama sekali, namun apa boleh buat, aku telah bersumpah untuk melayaninya, atau aku akan menerima hukuman.


“Kamu semakin menggairahkan dalam keadaan horny, Catherine. Dasar perempuan sundal. Sayang sekali aku gak bisa perkosa memekmu itu. Kalau nanti kamu hamil, aku bingung itu anakku atau cucuku. Jadi lebih baik aku coba lubang yang lain ya,” kata sang Tuan. Mengetahui maksud bejatnya, aku menggelengkan kepalanya, namun Tuan tetap memposisikan kedua kakiku hingga mengangkang, lalu menempatkan kedua telapak kakiku di pundaknya. Tuan lalu menggunakan kedua jempol tangannya untuk merekahkan lubang pantaku, kemudiakan mengarahkan penisnya ke lubang yang sangat sempit itu.


“Aaaaaaaahhh sakitttt, Tuan, tolonggg jangannnn!” jeritku saat merasakan anusku dimasuki oleh sebatang penis raksasa, walaupun baru ujungnya yang masuk. Tuan lalu memaksakan penisnya untuk mendobrak masuk ke dalam anusku, walaupun aku yakin Tuan merasakan sedikit rasa perih pada penisnya ketika bergesekkan dengan dinding anusku yang kering. Aku juga merasakan perih yang luar biasa, serasa anusku akan sobek sebentar lagi. Setelah terbiasa, Tuan mulai menggenjot anusku dengan sangat cepat, berbeda dengan perlakuan Axel yang halus. Aku merasakan sakit yang luar biasa pada pantatku selama lebih dari 15 menit, sebelum Tuan membalikkan tubuhku dan memposisikan tubuhku hingga menungging.


“Plak! Plakk!” terdengar suara tamparan yang berasal dari pertemuan tangan Tuan dengan bongkahan pantatku. Kedua belah pantatku merasa sakit dan panas. Sambil meremas-remas pantatku, Tuan kembali menyodokkan penisnya ke lubang pantatku, yang kusambut dengan jeritan kesakitan lainnya. Setelah beberapa menit, akhirnya Tuan menyemprotkan spermanya ke dalam liang duburku. Ia lalu mengeluarkan penisnya yang kini berlumuran darah yang berasal dari bagian dalam anusku yang terluka. Aku tetap meringkuk kesakitan sambil memegangi pantatku, walaupun benda raksasa itu sudah tidak lagi berada di dalam anusku, namun rasa perih yang tak tertahankan masih tersisa. Tuan bangkit dari kasur itu dan menyuruhku untuk membersihkan penisnya dengan lidahku. Dengan perasaan jijik, kukulum penis yang berlumuran sperma, darah, dan kotoranku sendiri.


“Luar biasa budak ini, nggak sia-sia aku kelurin duit banyak buat dia!” ujar sang Tuan kepada anaknya. Mereka berdua lalu mengenakan kembai pakaiannya, lalu menaiki anak tangga untuk keluar dari basement, meninggalkan diriku yang masih merintih kesakitan akibat disodomi.


Aku sedang menyeterika pakaian ketika Nyonya tiba-tiba menepuk pundakku dengan keras.


“Kamu kira saya nggak tau apa yang terjadi semalam?” bentak Nyonya.
“Engg.. Ampun, Nyonya, s-saya…”
“Kamu nggak puas udah dapetin anak saya, sampe suami saya kamu embat juga? Dasar pelacur brengsek!” omel Nyonya, sambil menampar pipiku hingga meninggalkan bekas merah.
“Bukan begitu, Nyonya, saya dipaksa…”
“Sudah, jangan banyak alasan kamu.”


Nyonya lalu menyeretku menuju ruang bawah tanah tempat aku diperkosa semalam. Saat itu di rumah hanya ada Nyonya dan aku.
“Sekarang saya mau lihat kamu kayang di lantai,” ujar Nyonya.
“Buat apa, Nyonya?”
“Makin banyak kamu tanya, makin banyak hukuman yang kamu terima, bodoh!”


Takut akan ancaman Nyonya, aku pun berjongkok, kemudian merentangkan badanku ke belakang, lalu memposisikan kedua telapak tanganku di atas lantai, di sisi kepala. Pantatku terangkat sekitar 20 cm dari lantai. Supaya badanku tidak jatuh ke lantai, Nyonya mengikatkan tangan dan kakiku ke gelang besi yang menyatu dengan lantai, yang memang sudah disiapkan atas keinginan Nyonya. Dalam posisi seperti itu, payudaraku terlihat mencuat ke atas sehingga nampak lebih besar dari aslinya. Daerah kewanitaanku terlihat jelas akibat posisiku yang sedikit mengangkang. Kemudian Nyonya mengambil cambuk dari rak. Cambuk itu terbuat dari kulit berwarna hitam, dan memiliki 9 hingga 10 cabang. Beliau menyentuhkan ujung cambuk itu ke mukaku yang menatap dengan penuh ketakutan.


“Ini hukuman buat pelacur yang berani-beraninya menggoda suami saya,” ujar Nyonya.


Kemudian Nyonya mengangkangkan kakinya sehingga tubuhnya tepat berada di atas kepalaku, lalu mengayunkan cambuk itu ke arah vaginaku.


“Ctarrrr!”
“Aaaaaaakkkkhhhhhhh!” aku menjerit sekeras-kerasnya. Daerah kemaluanku terasa sangat panas dan perih. Belum sempat rasa perih itu berkurang, sebuah cambukan kembali mendarat di tempat yang sama.
“Aaaaaa a-ampunnnn, sakitttt!”
“Ctarrr!”
“Please stoooopppp… Nggak tahannn..”


Nyonya kemudian berpindah posisi ke samping tubuhku, lalu kembali mengayunkan cambuknya, kali ini ke arah payudarku.
“Ctarrrr!”
“Sssshhh….akhhh!” jeritanku yang kesakitan bercampur dengan isak tangis. Pantatku yang tadi berada 20 cm dari lantai, kini terjatuh sehingga tubuhku menyentuh lantai.


“Setiap kali pantat montokmu itu menyentuh lantai, saya akan tambahkan 10 cambukan buat kamu, Catherine,” ujar Nyonya sambil tersenyum lebar. Aku pun segera mengangkat pantatku dari lantai, dan dalam sekejap sebuah cambukan kembali mendarat di tubuhku, kali ini di lekukan pinggul, kemudian di paha. Setiap kali tubuhku terasa akan jatuh ke lantai akibat rasa sakit yang aku alami, aku cepat-cepat mengangkat pantat sejauh mungkin dari lantai, dan secepat itu pula cambukan demi cambukan kembali melukai tubuhku. Lima belas menit itu terasa seperti seabad bagiku yang tidak henti-hentinya menangis dan menjerit setiap kali jalinan cambuk itu menghantam tubuhku. Nyonya tersenyum puas saat melihat penderitaan budaknya ini, seakan ia memiliki kendali penuh atas nasib gadis cantik di hadapannya. Saat itulah aku menyadari bahwa majikanku itu memiliki kelainan seks, yaitu suka menyiksa wanita lain.


Rasa sakit yang terus-menerus aku rasakan membuatku tidak sadar kalau Nyonya sudah berhenti mencambuki tubuhku. Kini beliau sedang menghampiri rak di dinding ruangan itu untuk mengambil sesuatu, yang ternyata adalah sebuah vibrator berwarna putih yang bentuknya seperti mikrofon untuk karaoke, dengan diameter kepalanya sekitar 6 cm. Selain itu, Nyonya juga mengambil sebuah bungkusan yang berisi pil, serta sebuah baskom. Kemudian Nyonya menghampiri diriku yang masih sesenggukan, lalu melepaskan ikatan pada tangan dan kakiku. Aku disuruh untuk berlutut dengan pinggul yang terangkat, sehingga kini kepalaku berada sejajar dengan pinggul Nyonya. Kedua tanganku kemudian diangkat ke atas dan diikatkan dengan tali yang tersambung ke katrol yang menempel di langit-langit ruangan. Ketekku yang mulus tanpa sehelai rambut pun terlihat dengan jelas. Nyonya kemudian memasukkan pil-pil yang tadi diambilnya ke dalam muluku, lalu memaksaku menelannya tanpa diberi tahu untuk apa pil tersebut. Lalu Nyonya berlutut di depanku, mengambil vibrator yang telah ia siapkan, dan menempelkan kepala vibrator itu ke atas selangkangaku. Akumerasa geli akibat getaran vibrator itu. Vibrator tersebut kemudian digerakan semakin lama semakin mendekat ke bibir vaginaku, hingga akhirnya menyentuh klitorisku yang ditindik dengan anting. Ransangan pada klitorisku membuat diriku melonjak kegelian, serta mulutku mengeluarkan desahan pelan. Nyonya memainkan vibrator itu di sekujur vaginaku, bahkan beliau menyodok-nyodokkannya ke bagian dalam vaginaku, sehingga pinggulku berguncang-guncang dengan hebat. Perlahan tapi pasti, ransangan pada vaginaku mengantarkanku hingga mencapai orgasme. Cairan putih meleleh keluar dari vaginaku, mengalir melewati pahaku menuju ke lantai.


“Dasar pelacur murahan, cepat sekali kamu terangsang,” ejek Nyonya. “Sekarang karena kamu sudah mengotori lantai ini dengan cairan dari memekmu , kamu harus menerima hukuman lagi.” Aku mengira akan menerima cambukan-cambukan lagi, namun ternyata aku salah. Setelah beberapa saat, aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk kencing, namun aku berusaha untuk menahannya. Rupanya Nyonya mengetahui hal tersebut, karena ternyata pil yang tadi diberikan tadi adalah pil untuk menstimulasi keluarnya urin dalam jumlah yang banyak. Melihat gelagatku tersebut, Nyonya mendekatkan baskom yang telah ia siapkan ke dekat lututku. Benar saja, tidak lama kemudian dari kemaluanku menyembur cairan kekuningan yang langsung ditampung oleh baskom di bawahnya. Air kencingku hampir memenuhi baskom yang cukup besar itu, sehingga bau pesing mulai tercium di ruangan itu. Setelah kencingku habis, Nyonya mengangkat baskom itu dari lantai, lalu mendekatkannya ke wajahku.


“Saya terlalu malas untuk memindahkan baskom ini ke toilet di atas. Jadi sebaiknya kamu habiskan isinya, Catherine,” perintah sang Nyonya. Aku merasa enggan untuk meminum urinku sendiri, namun Nyonya menempelkan mulut baskom itu ke bibirku, sehingga isinya mulai mengalir membasahi mulut dan daguku. Kemudian Nyonya menekan pipiku dan memaksaku untuk membuka mulut. Karena takut akan hukuman lebih lanjut, aku akhirnya rela membuka mulutnya. Dengan penuh rasa jijik dan sambil menahan nafas, aku menegak air kencingku sendiri yang mengalir dari baskom itu ke kerongkonganku. Air kencing itu sampai luber keluar dari mulutku yang mungil, mengalir menuju dagu, kemudian membasahi lantai. Setelah setengah baskom itu habis kutenggak, Nyonya menarik baskom itu dari mulutku, lalu menuangkan sisanya ke atas kepalaku. Rambutku basah oleh cairan berbau pesing itu, demikian juga dengan sekujur muka dan sebagian badanku. Aku merasakan jijik yang teramat sangat, belum pernah terpikir sebelumnya bahwa aku akan dimandikan dengan air kencingku sendiri. Melihat ekspresiku, sang Nyonya tertawa kesenangan karena telah berhasil menyalurkan hasratnya yang selama ini hanya ia fantasikan dalam benaknya.


Seolah tidak puas menyiksa budaknya, Nyonya kemudian mengambil kembali cambuknya, lalu mengelus-elus punggung dan pantatku.


“Sayang nih, bagian belakang kamu masih bersih. Saya warnai merah ya,” ujar Nyonya.


Beliau kemudian berdiri menjauh dari tubuhku, lalu mengayunkan cambuknya ke punggungku yang agak basah karena terkena air kencing tadi


“Aaaaaakhhh sudah Nyonya, hentikan,” ucapku dengan pelan, lelah akan perlakuan kejam yang kuterima selama hari itu.


Tentu saja Nyonya belum puas sebelum punggung, pantat, dan pahaku dihiasi oleh garis-garis merah yang menandakan kesakitan bagiku, namun melambangkan kemenangan bagi Nyonya. Cambukan demi cambukan mendarat di bagian belakang tubuhku. Jeritanku yang terdengar menyayat hari terus terdengar dari ruang bawah tanah itu sampai akhirnya hari mulai sore. Nyonya melepaskan ikatan pada tanganku, kemudian menyuruh aku berdiri, setelah itu kami berdua menaiki tangga untuk meninggalkan ruangan tersebut.


“Awas kalau kamu menggoda suami saya lagi. Nih, untuk mencegah suami saya supaya nafsu sama kamu, mulai sekarang pakai celana dalam!” ujar Nyonya, sambil menyerahkan celana dalam berwarna putih kepadaku. Aku pun segera memakai celana dalam tersebut, namun ternyata ukurannya agak sempit, sehingga gundukan vagina dan belahan pantatku masih dapat terlihat dengan jelas dari luar. Paling tidak kini daerah kemaluanku tertutup setelah sebulan lebih tidak ditutupi sehelai benang pun, pikirku dalam hati.


Namun ternyata celana dalam itu mendatangkan masalah baru bagiku. Keesokan harinya, ketika aku sedang mencuci piring di dapur, Nyonya menyelinap ke belakangku, lalu menarik bagian depan celana dalamku dan memasukkan dua buah vibrator yang berbentuk seperti peluru kecil ke dalamnya. Nyonya kemudian menyelipkan tangannya ke dalam CDku, lalu memposisikan vibrator tadi ke dalam vaginaku. Dengan menggunakan sebuah remote control, Nyonya menyalakan vibrator itu hingga bergetar di dalam vaginaku.


“Ssssshhh..ahhh j-jangannn…” Getaran itu memberikan ransangan yang membangkitkan gairahku. Ingin rasanya aku menikmati ransangan tersebut, namun karena aku harus tetap melakukan pekerjaan rumah dalam keadaan terangsang seperti itu, kenikmatan tersebut malah berubah jadi penderitaan bagiku. Aku harus menahan gairah supaya cairan kewanitaanku tidak membasahi celana dalam.


Hampir setiap hari Nyonya menyiksaku dengan cara seperti itu, bahkan kadang-kadang beliau memasukkan 3 hingga 4 vibrator kecil ke dalam vaginaku atau lubang pantatku. Untuk menambah penderitaaku, seringkali Nyonya menjepitkan beberapa penjepit baju yang terbuat dari kayu di puting susuku dan area sekitarnya, kadang-kadang juga di bibir vaginaku. Dalam keadaan seperti itu aku tetap harus menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah yang dipaksakan kepadaku. Ketika suatu saat aku ketahuan mengeluarkan vibrator dan jepitan itu dari dalam vaginaku, Nyonya menyuruhku untuk berdiri menghadap tembok dan menempelkan seluruh tubuhku ke tembok itu. Kemudian Nyonya memeloroti celana dalamku hingga ke paha, sehingga pantatku terpampang di hadapan Nyonya. Setelah itu, beliau memukuli pantatku dengan talenan yang terbuat dari kayu, sehingga kedua bongkahan daging itu menjadi merah padam. Tangisanku yang kesakitan nampaknya menjadi musik yang merdu bagi telinga Nyonya yang masochist itu, membuatnya ingin menyiksa diriku lebih lagi setiap harinya.


Segala penyiksaan dan perlakuan kejam yang aku terima membuat satu tahun di rumah itu terasa sangat lama. Lebih tepatnya sebelas bulan aku terkurung di tempat yang mungkin lebih kejam dari neraka itu. Nyonya selalu menemukan cara-cara baru untuk menyakiti tubuhku. Mulai dari ikat pinggang berujung logam sampai rotan kasar telah menorehkan garis-garis merah di sekujur tubuhku. Memang luka tersebut dapat hilang, namun rasa trauma di batinku nampaknya akan selalu membekas. Ditambah perlakuan dari Tuan yang maniak seks. Tidak hanya aku harus melayani pria tua itu, kadang-kadang aku juga harus melayani teman-temannya yang tidak kalah menyebalkan. Karena dilarang untuk memperkosa vaginaku, mereka mengeksploitasi lubang pantat, mulut, belahan dada, atau bagian tubuh manapun yang dapat mereka nikmati. Selain penis-penis yang menjijikan, mereka juga memasukkan barang-barang lain ke vagina dan anusku, mulai dari mentimun, tongkat kayu, hingga paku panas.


Namun satu hal yang membuatku bertahan tidak lain adalah Axel. Ada yang berbeda dengan caranya membelai tubuhku dengan lembut, mengecup keningku dengan mesra, serta mengusap luka-luka di tubuhku dengan halus. Ia sangat tahu bagaimana cara meluluhkan hati seorang wanita yang hancur sepertiku. Walaupun tindakan-tindakan baik itu dilanjutkan dengan adegan di mana aku harus melayani hasrat seksnya, aku sama sekali tidak keberatan. Lagipula ia melakukannya dengan cukup halus dan “menyenangkan”. Semakin Axel memikat hatiku, semakin dalam aku terjebak dalam dilema. Apakah aku benar-benar mencintai orang yang seharusnya jadi musuhku ini? Mengapa seolah Axel dapat memberikan apa yang selama ini tidak aku dapatkan dari pacarku? Apakah Axel benar-benar menyayangiku, atau ia hanya ingin menikmati tubuhku sama seperti orang-orang lain?


Lamunanku buyar saat pintu basement itu dibuka dengan keras oleh Tuan & Nyonya. Saat itu masih pagi sekali, tanggal 14 Februari. Tepat satu tahun semenjak aku meninggalkan kehidupan lamaku.


“Selamat hari Valentine, cantik,” ujar Tuan, dengan nada yang memuakkan seperti biasanya. Ia membawa sebuah kardus yang diikat dengan pita, layaknya sebuah kado. Aku segera membuka “kado” itu setelah diperintahkan. Ternyata isinya adalah lilin-lilin besar berwarna merah, dengan diameter sekitar 5 cm. Seolah tahu bahwa aku akan segera menghindar, Tuan & Nyonya cepat-cepat meraih tangan dan kakiku, lalu mengikatnya ke empat sudut ranjang besi tempatku duduk. Kini tubuhku terentang menyerupai huruf X, posisi yang sangat ideal untuk dianiaya. Tidak lupa mereka memeloroti celana dalamku yang lusuh itu.


“Kamu tahu kan kalau Valentine identik dengan lilin?” ujar Tuan sambil menyalakan salah satu lilin itu dengan korek, lalu menunggu beberapa saat sampai lilin itu mulai cair. Mengetahui bahwa usahaku untuk bangun akan sia-sia, aku hanya menarik nafas panjang, bersiap untuk kembali disakiti, seperti yang sudah-sudah.


“Aaaaakkhhh panasss!” teriakku saat tetesan lilin pertama jatuh tepat di atas puting susuku yang sebelah kanan. Dilanjutkan dengan beberapa tetes di puting susu sebelah kiri, kali ini dari tangan Nyonya. Aku hanya dapat menggeliat-geliat seperti cacing (yang memang) kepanasan untuk menahan rasa sakit itu. Rasa sakitnya semakin parah saat lilin itu menetes di bekas-bekas luka cambukan dan pukulan sebelumnya. Namun yang paling parah adalah saat selangkanganku menjadi arena permainan mereka. Lilin itu menetes di bibir vaginaku, mengalir masuk ke dalam liang kemaluanku yang sengaja direkahkan oleh Nyonya. Sangkaku penyiksaan ini tidak dapat lebih sakit dari itu, namun ternyata dugaanku salah saat Tuan menancapkan lilin itu dalam-dalam ke lubang vaginaku. Diameter lilin yang cukup lebar itu menyesakkan vaginaku yang nampak tidak muat untuk dimasuki benda sebesar itu. Ditambah dengan panasnya batang lilin itu, vaginaku merasakan penderitaan yang tak terkira. Mereka membiarkan lelehan lilin itu mengalir dan melekat di dinding vaginaku, sementara mereka kembali menetesi payudaraku dengan lilin lainnya. Setelah jumlah tetesan itu cukup banyak, mereka menempatkan sebatang lilin di atas masing-masing payudaraku, serta membiarkan lelehannya memenuhi gundukan payudaraku sampai ke perut.


“Sekarang kita punya chandelier yang bagus nih. Ayo kita nikmati Valentine dinner, eh breakfast kita, Ma!” kata Tuan. Ia benar-benar gila. Mereka benar-benar gila. Kini mereka menikmati sarapan dengan diterangi lilin-lilin yang menancap di vaginaku dan di atas payudaraku, sementara aku terus merintih kesakitan akibat panasnya lelehan lilin-lilin itu. Luar biasanya, mereka membiarkanku dalam keadaan seperti itu sampai mereka meninggalkan basement. Bagaimana bila lilin itu habis dan membakar vagina dan dadaku?


Sebelum hal itu terjadi, Axel turun ke ruangan nahas itu sambil membawa kado lainnya. Palingan sex toys lainnya, pikirku dalam hati. Axel lalu menghampiriku, lalu meniup semua lilin itu dan mengangkatnya dari tubuhku.


“Thanks ya Axel,” ujarku lirih.
“Jangan terima kasih dulu, kamu belum buka kadonya kan.”


Setelah Axel melepaskan ikatan-ikatanku, segera kubuka kado dari Axel. Di luar dugaanku, ternyata isinya jauh dari yang kubayangkan. Kotak itu berisi kaos, celana legging, pakaian dalam, dan jaket hoodie.


“Ini buat apa?” tanyaku, seorang gadis yang sebagian besar bugil selama setahun terakhir.
“Cepat kamu pakai ini. Mumpung Ayah & Ibu sedang keluar belanja.”


Dengan muka bingung, aku bangkit dan membersihkan bekas lilin di tubuhku seadanya. Vaginaku masih terasa sangat perih saat pahaku bergerak.


“Jujur, kamu lebih cantik kalau pake baju,” ujar Axel setelah aku mengenakan pakaian yang diberikannya. Aku tersenyum kecil, namun pikiranku masih dipenuhi dengan tanda tanya, sampai Axel akhirnya menjelaskan semuanya.
“Kamu bikin aku jatuh cinta beneran, Catherine. Dan aku gak bisa biarinin orang yang aku sayang terus menerus disakiti oleh orang-orang gila. Sekarang, tutupi kepala kamu dengan hoodie-nya biar aman, kita pergi dari sini.”
“Bagaimana kalau Tuan & Nyonya tahu?”
“Gak usah kuatir, Catherine. Aku yang tanggung jawab. Entah gimana caranya.”


Kami berdua lalu masuk ke dalam mobil, kemudian Axel menyetir mobil itu menyusuri jalan-jalan yang tidak pernah aku ketahui. Lebih tepatnya aku memang sama sekali tidak mengetahui keadaan di luar rumah itu. Perasaan campur aduk memenuhi batinku. Yang pasti, aku merasa luar biasa bahagia setelah terbebas dari perbudakan yang kejam itu. Ternyata masih ada yang menjawab doa-doaku. Namun yang membuatku lebih bahagia adalah mengetahui bahwa Axel benar-benar mencintaiku, bukan sebagai budaknya, namun layaknya wanita yang seharusnya diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Bahkan dengan keadaan tubuhku yang tidak lagi mulus, serta lubang pantatku yang bentuknya tak karuan. Entah ke mana ia membawaku pergi, aku merasa lebih aman saat ia di sisiku.



Related Posts

Pemerkosaan Yang Kuinginkan Lagi sebatang penis raksasa
4/ 5
Oleh